Sunday, February 8, 2009

Tourism Planning


FAKTOR KEAMANAN DALAM PERENCANAAN PARIWISATA


OLEH:
RAHMAT INGKADIJAYA


PENDAHULUAN
Kunjungan wisatawan mancane¬gara ke Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 dipastikan akan mengalami penu¬runan. Hal ini disebabkan kejadian-kejadian beruntun yang menimpa negeri kita sempat menciptakan citra Indonesia di mata dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk dikunjungi. Pemerintah Jepang misal¬nya, telah mengeluarkan larangan terhadap warga negaranya untuk mengunjungi Indonesia kecuali Bali. Citra tidak aman tersebut kemudian diperteguh dengan banyaknya warga negara asing, baik swasta maupun anggota kedutaan dan keluarganya, dan warga keturunan Cina yang meninggalkan negeri ini menjelang pelaksanaan kampanye dan pemilu 1999 (Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999).

Kenyataan tersebut tentu saja memprihatinkan. Kita tahu dari data statistik bahwa hingga tahun 1996 sektor pariwisata terus menunjukkan sumbangan yang berarti dalam perolehan devisa negara (lihat Tabel-1), sehingga banyak kalangan, baik pemerintah maupun para pakar, memperkirakan pada tahun 2003 pariwisata akan menyumbang devisa terbesar dari sektor non-migas, dan pada tahun 2005 akan menjadi penghasil devisa utama menggantikan posisi migas. Tetapi apa mau dikata, harapan ini menjadi pupus setelah terjadinya kebakaran hutan dan wabah demam berdarah di beberapa tempat di negeri ini pada tahun 1997, dan disusul kemudian dengan berbagai huru-hara dan kerusuhan sebagai akibat instabilitas politik (political instability). Indonesia menjadi negara yang dianggap tidak aman untuk dikunjungi. Biro-biro perjalanan, hotel-hotel, tempat-tempat tujuan wisata menjadi sepi. Karena tidak adanya pemasukan, banyak di antara mereka yang kondisinya “sekarat”. Kondisi ini diperparah lagi dengan berlang¬sungnya krisis ekonomi yang berke¬panjangan yang tidak hanya ber¬dampak buruk terhadap sektor pariwisata, melainkan juga terhadap hampir semua sektor riil lainnya.

Namun, apapun yang terjadi janganlah membuat kita putus asa. Setiap musibah pasti ada hikmahnya dan kita mesti pandai-pandai mengambil pelajaran dari hikmah tersebut. Adapun hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari musibah yang menimpa dunia pari¬wisata adalah bahwa faktor keamanan ternyata begitu penting dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat. Sedemikian pentingnya se-hingga betapapun suatu tempat mempunyai keindahan alam yang tiada tara dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, itu semua belumlah cukup sebagai “magnet” untuk mena¬rik wisatawan berkunjung ke tempat itu bila mereka menganggap tempat tersebut tidak aman.

Mengingat peranannya yang begitu penting sebagai daya tarik pari¬wisata, maka faktor keamanan perlu diberi porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang. Apalagi bila kita hendak menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam perolehan devisa negara.

PERENCANAAN PARIWISATA
Pariwisata dapat memberikan manfa’at dan juga mudlarat. Manfa’at pariwisata dalam bidang ekonomi misalnya, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan income per-capita, meningkatkan devisa, dlsb. (lihat Tabel-2). Sedangkan mudlarat-nya, bisa menimbulkan kerusakan lingkungan alami, lingkungan terbangun, dan lingkungan budaya (lihat Tabel-3, Tabel-4, dan Tabel-5). Perencanaan pengembangan pariwisata dimaksudkan agar aktivitas pariwisata dapat menghasilkan keuntungan atau manfa’at sebesar-besarnya, dan menghilangkan atau menekan mudlarat/dampak negatifnya seminimal mungkin.

Tujuan tersebut tampak sederhana, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah karena pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sangat kom¬pleks yang mempunyai karak¬teristik sebagai berikut:

a) Multi-dimensional. Pariwisata ber¬dimensi banyak, mencakup dimensi fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
b) Multi-sektoral. Pariwisata ber¬kaitan erat dengan sektor-sektor lainnya, seperti pertanian, per-ikanan, manufaktur, transportasi, berbagai pelayanan dan fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya.
c) Multi-produk. Produk yang dita¬warkan pariwisata itu bermacam-macam sesuai dengan demand wisatawan, di antaranya ialah wisata alam, wisata agro, wisata lingkungan, wisata budaya, wisata bahari, wisata air, wisata ziarah, konvensi, dlsb.
d) Multilevel. Pariwisata juga meli¬batkan banyak tingkatan, mulai dari tingkat komunitas lokal, provinsial, nasional, sampai tingkat global.

Melihat begitu kompleksnya akti¬vitas pariwisata, maka pengembangan pariwisata perlu direncanakan secara komprehensif, holistik, dan integratif. Inskeep (1991) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pari-wisata karenanya harus menggunakan suatu pendekatan yang mencakup unsur-unsur berikut ini:

a) Pendekatan yang berkesinam¬bungan, incremental, dan fleksibel (Continuous, incremental, and flexible approach). Perencanaan pariwisata dipandang sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan dimungkinkan melakukan penyesuaian-penye¬su¬aian yang diperlukan berdasarkan hasil monitoring dan umpan balik (feedback), tetapi dalam kerangka pemeliharaan tujuan dasar dan kebijakan pengembangan pari¬wisata.
b) Pendekatan sistem (Systems approach). Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling terkait dan harus direncanakan menggunakan teknik analisis sistem.
c) Pendekatan komprehensif (Com¬prehensive approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem, seluruh aspek pengembangan pariwisata, termasuk unsur-unsur institusional, implikasi sosio-ekonomi dan lingkungan dianalisis dan direncanakan secara kompre¬hensif. Karena itu pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan holistik.
d) Pendekatan yang terintegrasi (Integrated approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem dan komprehensif, pariwisata direnca¬nakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem terintegrasi, baik antar unsur-unsur di dalam sistem itu sendiri maupun dengan ren¬cana dan pola-pola pemba¬ngunan secara keseluruhan.
e) Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Environmental and sustainable development approach). Pariwisata direncanakan, dikem-bangkan, dan dikelola sedemikian rupa sehingga sumberdaya alam dan budaya tidak habis atau menurun, tetapi terpelihara sebagai sumberdaya yang hidup terus menjadi dasar permanen untuk penggunaan terus-menerus di masa depan. Analisis daya angkut/muat (carrying capacity analysis) merupakan suatu teknik yang penting digunakan dalam pendekatan pembangunan berke-lanjutan dan berwawasan lingkungan ini.
f) Pendekatan komunitas (Community approach). Terdapat keter¬kaitan maksimum komunitas lokal dalam perencanaan dan pengam¬bilan keputusan kepariwisataan dan, lebih jauh lagi, terdapat partisipasi maksimum komunitas dalam pengembangan dan mana-jemen pariwisata, serta keun¬tungan-keuntungan sosio-ekono¬minya.
g) Pendekatan implementable (Imple¬mentable approach). Kebijakan, rencana, dan rekomendasi pe¬ngembangan pariwisata diformula¬sikan menjadi realistik dan dapat diimplementasikan. Formulasi kebijakan dan rencana itu meng¬gunakan teknik-teknik implemen¬tasi, yang mencakup strategi atau program aksi dan pengembangan.
h) Aplikasi proses perencanaan sistematik. Proses perencanaan sistematik diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan pada urutan logik aktivitas-aktivitas. (Inskeep, 1991:29)
Pendekatan tersebut di atas diaplikasikan secara konseptual pada semua tingkat dan jenis perencanaan pariwisata. Tetapi bentuk spesifik aplikasinya, tentu saja, bervariasi tergantung pada jenis perencanaan yang diambil.

Perencanaan pariwisata dipersiap¬kan pada berbagai tingkatan. Setiap tingkatan memfokuskan diri pada derajat kekhususan yang berbeda. Perencanaan tersebut hendaknya dipersiapkan dalam urutan dari yang umum ke yang spesifik, sebab tingkatan yang umum memberikan kerangka dan arahan untuk mempersiapkan rencana-rencana spesifik. Urutan tingkatan itu dimulai dari tingkat perencanaan internasional, perencanaan nasional, perencanaan regional/provinsial, perencanaan sub-regional/provinsial, perencanaan daerah wisata, perencanaan fasilitas pariwisata, dan design fasilitas pariwisata.

DAYA TARIK WISATA
Perencanaan pengembangan pari¬wisata tersebut di atas mencakup komponen-komponen sebagai berikut:

a) Daya tarik wisata. Yaitu semua sumber daya alam dan budaya, keistimewaan-keistimewaan dan aktivitas-aktivitas yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
b) Akomodasi. Hotel dan jenis ako¬modasi lainnya tempat wisatawan menginap selama melakukan perjalanannya, beserta pelayanan-pelayanan yang diberikan.
c) Fasilitas dan pelayanan pari¬wisata lainnya. Fasilitas dan pelayanan pariwisata lainnya yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata di antaranya ialah biro dan agen perjalanan (disebut juga receptive services), restoran dan jenis tempat makan lainnya, toko barang kerajinan, souvenir, bank, tempat penukaran uang, dan fasilitas dan pelayanan keuangan lainnya, kantor informasi wisata, pelayanan pribadi seperti pe¬mangkas rambut dan salon kecantikan, fasilitas pelayanan medis, fasilitas pelayanan polisi dan pemadam kebakaran, dan fasilitas kepabeaan dan imigrasi.
d) Transportasi. Transportasi ke negara yang bersangkutan, trans¬portasi antar provinsi dan antar kota, transportasi ke dan dari daerah tujuan wisata. Mencakup semua jenis transportasi, yaitu transportasi darat, laut, dan udara.
e) Infrastruktur lainnya. Di samping transportasi, infrastruktur lainnya yang diperlukan antara lain air, listrik, telepon, drainage, dlsb.
f) Unsur-unsur institusional. Unsur-unsur institusional yang diper¬lukan dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata mencakup perencanaan sumber daya manu¬sia beserta program-prog¬ram pelatihan dan pendidikannya, strategi pemasaran dan program promosi, struktur organisasi kepariwisataan baik pemerintah maupun swasta, peraturan perundang-undangan kepariwisataan, kebijakan-kebi¬jakan investasi, program-program pengawasan mengenai dampak ekonomi, sosio-budaya, dan lingkungan. (Inskeep, 1991: 38-39)

Yang paling penting dari keenam komponen tersebut adalah komponen daya tarik wisata. Komponen inilah yang menyebabkan seorang wisatawan mengunjungi suatu tempat/daerah tujuan wisata. Wisatawan datang ke Yogya misalnya, bukan untuk me-nginap di hotel berbintang, tetapi untuk melihat kraton, borobudur, sekatenan, melihat kehidupan masya¬rakat setempat beserta adat-istiadatnya, dan sebagainya. Sedang¬kan komponen-komponen lainnya merupakan penunjang dari komponen daya tarik. Misalnya, biro perjalanan merupakan sarana yang memudahkan wisatawan dalam melakukan per¬jalanan wisata, dan hotel atau akomodasi lainnya membuat wisa¬tawan dapat menikmati daya tarik wisata lebih lama.

Daya tarik wisata biasanya dike¬lompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:

a) Daya tarik wisata alam (Natural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya alam, seperti iklim, pemandangan alam, laut dan pantai, flora dan fauna, cagar alam, dll.
b) Daya tarik wisata budaya (Cultural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya budaya, seperti situs dan peninggalan-peninggalan sejarah budaya, adat istiadat, seni dan kerajinan tangan, museum, festival budaya, dll.
c) Daya tarik wisata khusus (Special types of attractions) ialah daya tarik wisata yang tidak termasuk ke dalam dua kategori di atas yang sengaja dibuat atau diciptakan, seperti taman-taman hiburan dan sirkus, pusat perbelanjaan, fasilitas pertemu-an/konferensi/konvensi, peristiwa khusus (Olympiade, ASIAN Games, Sea Games, PON, dll), kasino dan tempat hiburan (nightclub dan disco), fasilitas rekreasi dan olah raga, dll.

Ketiga kategori daya tarik wisata tersebut memberikan peluang bagi suatu daerah atau negara untuk mengembangkan pariwisatanya. Dan agar daya tarik wisata ini memberikan keuntungan sebesar-besarnya, maka pengembangannya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.

FAKTOR KEAMANAN
Selain ketiga daya tarik wisata tersebut di atas masih ada daya tarik wisata lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu keamanan atau rasa aman. Meskipun suatu daerah/negara mempunyai keindahan alam yang sangat menawan dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, wisatawan tidak akan berani berkunjung ke daerah/negara itu bila mereka menganggap daerah/negara tersebut tidak aman bagi dirinya.

Menurut Richter (1992) pengaruh keamanan terhadap pariwisata sebe¬tulnya sangat jelas, tetapi banyak negara-negara berkembang tidak memasukkannya dalam perencanaan pengembangan pariwisata mereka sebelum masalah-masalah yang ditimbulkan oleh faktor ketidak¬amanan terjadi. (Richter, 1992:39) Kasus yang diungkapkan oleh Richter tersebut rupanya teralami juga oleh Indonesia. Untuk itu di masa-masa mendatang faktor keamanan ini perlu mendapat porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata nasional maupun daerah.

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau menimbulkan ketidakamanan (insecurity), antara lain adalah:

a) Wabah penyakit, misalnya demam berdarah, malaria, muntaber, dsb.
b) Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, lahar gunung berapi, dsb.
c) Kecerobohan manusia yang me¬nimbulkan bencana dan kece¬lakaan, misalnya bencana keba¬karan hutan.
d) Kriminalitas, seperti perampokan, perkosaan, penodongan, dsb.
e) Kesenjangan sosial-ekonomi masya¬rakat sekitar daerah tujuan wisata yang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap pengusaha pariwisata dan wisatawan, yang diungkapkan melalui perbuatan-perbuatan kri-minal (penjarahan, pencurian, pengrusakan, dsb.).
f) Pelanggaran norma-norma atau nilai-nilai budaya setempat oleh para wisatawan, yang menim-bulkan konflik antara wisatawan dengan penduduk setempat.
g) Instabilitas politik (political instability) yang menimbulkan huru-hara, kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, dsb.

Lebih jauh lagi untuk faktor instabilitas politik, Richter (1992) membaginya menjadi empat macam, yaitu:

a) Instabilitas di negara kawasan/¬tetangga dapat mempengaruhi negara lainnya karena menggang-gu lalu lintas udara, laut, dan darat; atau karena publisitas mengenai instabilitas tersebut mempengaruhi seluruh kawasan.
b) Pergolakan internal di suatu negara yang walaupun mungkin daerah rawannya jauh dari daerah tujuan wisata namun pemberitaan media massa dapat menciptakan citra tidak aman negara tersebut secara keseluruhan, sehingga negara lain melarang warganya untuk mengadakan perjalanan ke negara itu.
c) Aksi-aksi dari kelompok anti-pemerintah yang mengganggu para wisatawan. Apakah untuk mepermalukan pemerintah yang bersangkutan, atau untuk mele¬mahkan perekonomiannya, atau sekedar untuk mencari perhatian dunia internasional terhadap permasalahan politik yang terjadi di negara tersebut.
d) Instabilitas politik yang dise¬babkan kebijakan-kebijakan pe¬ngembangan pariwisata itu sendiri yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat, seperti yang terjadi di Philipina pada jaman rezim Marcos berkuasa. Sa’at itu Keluarga Marcos dan kroninya membangun hotel mewah dengan menggunakan dana pinjaman yang sebenarnya diperuntukkan untuk Jaring Pengaman Sosial. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan rakyat.(Richter, 1992: 33-46).

Semua faktor yang dapat menyebabkan ketidakamanan tersebut di atas harus ditangani secara komprehensif dalam perencanaan pariwisata. Untuk itu perlu adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga/instansi-instansi lainnya. Untuk masalah wabah penyakit misalnya, perlu kerjasama dengan Departemen Kesehatan, dan untuk masalah kriminalitas perlu kerjasama dengan pihak kepolisian. Perlu juga adanya pengamanan jalur-jalur wisata dari serangan orang-orang yang ingin mengganggu wisatawan.

Di samping itu, pihak pengusaha pariwisata pun harus peka terhadap keadaan sosial-budaya dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan wisata, agar konflik antara masyarakat dengan pihak pengusaha pariwisata dan wisatawan dapat dihindarkan.

PENUTUP
Di dalam milenium ketiga nanti, sektor pariwisata diharapkan akan menjadi sektor andalan sebagai penyumbang terbesar devisa negara. Karena itu, dengan menimba pengalaman dari kejadian-kejadian belakangan ini yang sangat tidak menguntungkan bagi berkembangnya sektor ini, kita perlu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang.

Perhatian terhadap faktor keamanan ini akan semakin penting lagi bilamana ternyata sektor pariwisata benar-benar menjadi sektor andalan peraih devisa. Karena dengan begitu sektor pariwisata akan menjadi penentu keberhasilan perekonomian kita. Sementara itu kita tahu sektor ini sangat rawan terhadap isu ketidakamanan.


DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. Statistik kunjungan tamu asing 1996. Jakarta, 1997.

Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Direktorat Jenderal Pariwisata. Analisis pasar wisatawan mancanegara 1997. Jakarta, 1997

Gunn, Clare A. Tourism planning, 2nd edition. New York: Taylor & Francis, 1988

Hartanto, Frans Mardi. “Menjelang pembangunan pariwisata yang berkelanjutan: perspektif perencanaan kebijaksanaan” dalam Prosiding pelatihan dan lokakarya perencanaan pariwisata berkelanjutan, editor Myra P. Gunawan. Bandung: Penerbit ITB, 1997

Inskeep, Edward. Tourism planning: an integrated and sustainable development approach. New York: Van Nostrand Reinhold, 1991

“Mencari rasa aman”. Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999: hal. 15

Richter, Linda K. “Political instability and tourism in the Third World” in Tourism & the less developed countries, edited by David Harrison. London: Belhaven Press, 1992

Rudini. “Jaring pengaman sosial untuk pemulihan ekonomi” dalam Sinergi, EdisiXXI/1998: hal. 23-26.

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol.04, No.1, Agustus 1999)

No comments: