Sunday, December 16, 2012

Teknik Penulisan Laporan

Pengertian dan Jenis-jenis Karya Tulis
Tahap-tahap Penulisan Karya Tulis Ilmiah

Sunday, February 8, 2009

Travel Market Segmentation


VARIABEL SEGMENTASI PASAR PERJALANAN WISATA


Rahmat Ingkadijaya


ABSTRACT

With the demand-led and supply-side trends in the tourism and travel industry, the market has become somewhat multi-various and hard to identify. As a consequence, marketers will experience some difficulties to select the best segmentation base. It still helps to use the all time tested and proven variables commonly used by market experts. These variables are geographic, demographic, psychographic, behavioral, purpose of trip, product-related, and channels of distribution. Better yet, multistage segmentation approach or using combination of the variables is highly suggested for more effective segmentation.

Kata kunci : pemasaran, segmentasi pasar, dasar segmentasi

PENDAHULUAN
Segmentasi pasar merupakan bagian dari pemasaran yang sangat penting. Dalam pemasaran pariwisata, segmentasi pasar sudah lama dilakukan. Misalnya, pasar perjalanan wisata sering disegmentasi berdasarkan Negara asal wisatawan (geografis) atau berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan penghasilan wisatawan (demografis). Hasil segmentasi tersebut kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan strategi pemasaran.

Sejalan dengan perkembangan zaman, wisatawan atau orang yang melakukan perjalanan wisata semakin banyak dan kebutuhan/keinginan mereka-pun semakin beragam pula.
Menurut Morrison (1996), beragamnya pasar tersebut disebabkan terjadinya dua jenis trend dewasa ini, yaitu demand-led trends dan supply-side trends. Demand-led trends terjadi karena adanya perubahan struktur umur, perubahan struktur rumahtangga, perubahan peranan dan tanggung jawab rumahtangga, peningkatan pentingnya minoritas, perubahan pola-pola sosial/budaya dan gaya hidup (lifestyles), dan peningkatan tuntutan untuk alternatif perjalanan wisata yang spesifik.

Sedangkan supply-side trends terjadi karena adanya peningkatan penekanan pada pelaku perjalanan wisata yang berulang (frequent travelers), perhatian yang besar terhadap kebutuhan nutrisi dan kebugaran, pemasaran yang lebih banyak kepada pelaku perjalanan eksekutif dan mewah, penekanan yang lebih besar pada paket-paket wisata akhir pekan dan liburan pendek lainnya, perhatian yang lebih besar pada pelaku perjalanan bisnis wanita, penekanan yang lebih besar pada pelaku perjalanan yang tinggal lebih lama, harga yang lebih variatif, kenyamanan yang lebih besar dalam pemberian pelayanan, penawaran makanan etnis yang lebih variatif, dan peningkatan supply penawaran perjalanan yang spesifik.

Keberagaman pasar seperti yang dikemukakan di atas menuntut pemasar pariwisata untuk lebih teliti dan hati-hati dalam mengidentifikasi pasar dan memilih pasar sasarannya. Pemasar yang melakukan segmentasi pasar dengan baik, akan memperoleh beberapa keuntungan, ia akan menggunakan dana pemasarannya lebih efektif, memahami kebutuhan dan keinginan kelompok pelanggan yang terseleksi lebih jelas, dapat melakukan positioning (mengembangkan suatu pelayanan dan bauran pemasaran untuk menempati tempat khusus dalam benak pelanggan potensial pasar sasaran) lebih efektif, dan menyeleksi teknik dan alat promosi lebih cermat/teliti, misalnya dalam pemilihan media iklan, metode promosi penjualan, penempatan secara geografis, dan lain sebagainya (Morrison, 1996).

Segmentasi pasar diakui banyak orang sangat bermanfaat, tetapi tidak mudah untuk melakukannya. Organisasi yang melakukan segmentasi pasar akan terbentur masalah-masalah sebagai berikut: pertama, dengan melakukan segmentasi pasar, organisasi harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar bila dibandingkan dengan tidak melakukan segmentasi pasar. Disini organisasi harus berpikir dua kali untuk mempertimbangkan untung-ruginya. Kedua, kesulitan untuk memilih variabel mana yang akan dijadikan dasar terbaik dalam melakukan segmentasi pasar. Ketiga, kesulitan untuk mengetahui seberapa luas pasar sasaran yang sesuai untuk diambil, karena bila terlalu luas akan terjadi pemborosan dan bila terlalu sempit akan banyak pelanggan potensial yang tidak terjaring. Keempat, kecenderungan untuk menjaring segmen yang tidak aktif atau tidak permanen, sehingga tidak menguntungkan (Morrison, 1996).

Tulisan ini bermaksud membahas masalah pemilihan variabel yang dijadikan dasar dalam melakukan segmentasi pasar. Tulisan difokuskan pada variabel-variabel yang telah digunakan oleh para peneliti pemasaran pariwisata.

PENDEKATAN-PENDEKATAN SEGMENTASI
Sebelum membicarakan variabel-variabel apa saja yang digunakan sebagai dasar segmentasi pasar, perlu diketahui terlebih dahulu pendekatan-pendekatan yang diambil dalam melakukan segmentasi pasar. Menurut Morrison (1996) ada tiga pendekatan dalam segmentasi pasar, yaitu single-stage segmentation, two-stage segmentation, dan multistage segmentation.

Single-stage segmentation adalah suatu pendekatan dalam melakukan segmentasi dengan menggunakan hanya satu variabel sebagai dasar segmentasi. Misalnya, sebuah agen perjalanan wisata membagi pelanggan potensialnya berdasarkan tujuan perjalanannya, untuk bersenang-senang, bisnis, dan lain sebagainya (menggunakan variabel tujuan perjalanan sebagai dasar segmentasi).

Sedangkan di dalam two-stage segmentation menggunakan dua variabel sebagai dasar segmentasi. Variabel pertama sebagai dasar utama dan variabel kedua sebagai dasar tambahan agar lebih spesifik. Misalnya, sebuah agen perjalanan wisata setelah membagi pelanggannya berdasarkan tujuan perjalanannya, kemudian membaginya lagi berdasarkan negara asalnya (dasar geografik).

Multistage segmentation hampir sama dengan two-stage segmentation. Hanya saja dalam multistage segmentation, variabel tambahannya lebih dari satu. Misalnya, sebuah hotel membagi pasarnya berdasarkan tujuan perjalanan, diperoleh pasar convention-meeting. Kemudian pihak hotel mempersempit pasarnya menjadi hanya organisasi/organisasi yang melakukan pertemuan dengan jumlah peserta yang sedikit. Akhirnya pihak hotel membagi lagi perusahaan/organisasi tersebut berdasarkan negara/daerah asalnya.

Penggunaan pendekatan-pendekatan di atas sangat tergantung pada kepentingan masing-masing organisasi dan kondisi di lapangan. Agar segmentasi yang dilakukan lebih efektif Morrison (1996) menyarankan menggunakan pendekatan multistage atau pendekatan kombinasi (mengkombinasikan beberapa variabel dalam segmentasi) menurut istilah Kotler, Bowen, dan Makens (1998).

VARIABEL-VARIABEL SEGMENTASI
Dari perspektif manajemen pemasaran konsumen tradisional (Kotler, Bowen, Makens, 1998; dan Zeithaml & Bitner, 1996), dikenal empat variabel utama yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan segmentasi pasar, yaitu variabel geografis (geographic), demo¬grafis (demographic), psikografis (psychographic), dan perilaku (behavioral). Keempat variabel tersebut bila diterapkan di bidang pariwisata, tidak cukup. Hal itu dikarenakan adanya faktor-faktor yang khas di bidang pariwisata, yaitu faktor: pelayanan dan kualitas hospitalitas, mobilitas konsumen perjalanan wisata, dan interaksi di antara keduanya (Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Karena itu Morrison (1996) menambahkan variabel-variabel: tujuan perjalanan (purpose of trip), produk terkait (product-related), dan saluran distribusi (channels of distribution).

VARIABEL GEOGRAFIS
Segmentasi pasar yang menggunakan variabel geografis sebagai dasar segmentasi berarti membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok pelanggan yang mempunyai kesamaan geografis. Pembagian dapat berdasarkan negara, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan, atau bahkan rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) bila memang dipandang perlu.

Segmentasi geografis paling banyak dipakai di dalam pemasaran pariwisata karena mudah digunakan dan mudah diukur (Morrison, 1996). Pembuatan statistik wisatawan oleh pemerintah juga biasanya menggunakan negara asal wisatawan sebagai dasar pembagiannya.
Contoh faktor-faktor yang dapat dipakai dalam segmentasi geografis dapat dilihat sebagai berikut (Morisson, 1996):

COMMUNITY LEVEL
• Neighborhoods
• Zip/Postal Codes
• Metropolitan Statistical Areas (MSAs)
• Areas of Dominant Influences (ADIs)
• Designated Market Areas (DMAs)
• Local Access and Transport Areas (LATAs)
• Trading Areas
• Cities/Towns
• Population Densities
STATE/PROVINCIAL/COUNTY LEVEL
• County
• State/Province
NATIONAL/INTERNATIONAL LEVEL
• Regions
• Countries
• Continents

VARIABEL DEMOGRAFIS
Variabel demografis yang dipakai dalam segmentasi pasar adalah variabel-variabel yang biasa muncul dalam sensus penduduk, yaitu umur, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan, tingkat pendidikan, agama, ras/suku bangsa, dan lain-lain. Sebagaimana variabel geografis, variabel demografis juga populer dan banyak digunakan dalam pemasaran pariwisata (Morrison, 1996). Keinginan, preferensi, dan tingkat pemakaian konsumen sering sangat berhubungan dengan variabel-variabel demografis. Variabel-variabel demografis juga mudah diukur (Kotler, 1997).
Tabel 1 menyajikan contoh segmentasi demografis yang dibuat oleh Lumdsom (1997).

Variabel demografis seringkali digunakan bersamaan dengan variabel geografis, yang dikenal dengan segmentasi geodemografis. Segmentasi geodemografis merupakan pendekatan two-stage segmentation karena menggunakan dua variabel, yaitu geografis dan demografis.

Table 1. Demographic Segmentation

Table Category Profile Examples
Young children
(4-11) Parents influenced by desires of small children Legoland, Denmark
The World of Disney, Florida
Young people
(11-18) Adventure holidays but with parental approval, guidance PGL Activity Holidays
Youth Hostels Association
Young couples/groups/solos
(18-30) Good fun, flexible, fast paced holidays, including adventure Club 18-30
Inter Rail
Family holidays
(25-50 with younger children) Children are the key to the holiday; activities and relaxation Butlins and Pontins
CenterParcs
Disney World
Empty nester holidays
(45-60) Active ex parents – discovering new tourism destinations, pastimes without children Cruise market such as P&O Cruises or Celebrity Cruises
Senior citizens
(55+) Older people, singles and couples, seeking holidays with include culture, but not paced itineraries Saga Holidays, UK
Elderhostel, USA

Lumsdon (1997).

VARIABEL PSIKOGRAFIS
Variabel psikografis akhir-akhir ini paling banyak dipakai dalam segmentasi pasar perjalanan wisata (Morrison, 1996; Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Variabel psikografis terdiri dari kelas sosial, gaya hidup, dan kepribadian (Kotler, 1997; Kotler, Bowen, & Makens, 1998). Gaya hidup (lifestyle) merupakan variabel psikografis yang sering digunakan.

Menurut Morrison (1996), gaya hidup adalah suatu cara hidup yang dikenali dari cara bagaimana orang menghabiskan waktunya (activities), hal-hal apa yang dianggapnya penting (interests), dan bagaimana ia merasakan tentang dirinya dan dunia di sekitarnya (opinions). Rincian dari masing-masing variabel gaya hidup dapat dilihat pada Tabel 2.

Selain variabel-variabel di atas, yang termasuk variabel psikografis juga adalah motivations dan values (Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Tidak seperti variabel geografis dan demografis, dimana setiap orang menggunakan definisi dan aturan yang sama, variabel psikografis didefinisikan dan dideskripsikan dengan banyak cara. Karena itu, segmentasi psikografis dianggap lebih rumit. Di samping itu, variabel psikografis juga tidak dapat digunakan sendirian, tetapi harus menjadi bagian dari pendekatan two-stage atau multistage segmentation (Morrison, 1996).

Table 2. List of Activities, Interests and Opinions
Activities Interests Opinions
Work Family Themselves
Hobbies Home Social Issues
Social Events Job Politics
Vacations Community Business
Entertainment Recreation Economics
Club Membership Fashion Education
Community Food Products
Shopping Media Future
Sports Achievement Culture
Source: Morrison, 1996


VARIABEL PERILAKU
Variabel perilaku diyakini para pemasar sebagai titik awal terbaik dalam membentuk segmen pasar. Yang termasuk variabel ini adalah kejadian, manfaat, status pemakai, tingkat pemakaian, status kesetiaan, tahap kesiapan pembeli, dan sikap (Kotler, 1997; Kotler, Bowen, & Makens, 1998).

• Kejadian pemakaian, yaitu bahwa pembeli dapat dibedakan menurut kejadian saat mereka mengembangkan kebutuhan, membeli suatu produk, atau memakai suatu produk. Kejadian perjalanan yang utama adalah bisnis, liburan, dan alasan personal atau keluarga lainnya. Contoh dari segmen kejadian pemakaian ini adalah pasar honey-mooner (Morrison, 1996).
• Manfaat, yaitu bahwa pembeli dapat dibedakan berdasarkan manfaat yang mereka cari dari suatu produk. Segmentasi yang menggunakan variabel manfaat pertamakali diperkenalkan oleh Russell Haley pada tahun 1968. Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu metode yang akan memberikan pengertian dan prediksi yang lebih baik daripada segmentasi yang menggunakan variabel geografis atau demografis (Frochot & Morrison, 2000). Banyak pakar pemasaran menganggap variabel manfaat sebagai dasar segmentasi yang terbaik. Hal ini dikarenakan bahwa orang tidak sekedar membeli produk atau pelayanan, tetapi juga membeli manfaat dari produk atau pelayanan yang dibelinya. Karena pentingnya, maka variabel manfaat selalu menjadi dasar segmentasi yang utama (Morrison, 1996).
• Status pemakai, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi menjadi kelompok non-pemakai, bekas pemakai, pemakai potensial, pemakai pertamakali, dan pemakai tetap dari suatu produk. Variabel status pemakai cenderung digunakan sebagai bagian dari pendekatan two-stage atau multi-stage segmentation (Morrison, 1996). Misalnya, segmentasi kombinasi dari variabel geografis, tujuan perjalanan, dan status pemakai.
• Tingkat pemakaian atau frekuensi pemakaian (Morrison, 1996), yaitu bahwa pasar juga dapat dikelompokkan menjadi pemakai produk yang ringan, sedang, dan berat. Variabel tingkat pemakaian sebaiknya dipilih sebagai bagian dari pendekatan two-stage atau multi-stage segmentation (Morrison, 1996). Misalnya, segmentasi kombinasi dari variabel tingkat pemakaian, tujuan perjalanan, dan variabel geografis.
• Status kesetiaan, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi menurut pola kesetiaan konsumen. Konsumen dapat dibagi menjadi: (1) konsumen yang sangat setia, yaitu konsumen yang membeli satu merk sepanjang waktu; (2) konsumen yang kesetiaannya terbagi pada dua atau tiga merk; (3) konsumen yang kesetiaannya berpindah dari suatu merk ke merk yang lain; dan (4) konsumen yang tidak mempunyai kesetiaan pada satu merk tertentu.
• Tahap kesiapan pembeli, yaitu bahwa pasar terdiri dari orang-orang dengan tahap kesiapan yang berbeda-beda untuk membeli suatu produk. Berdasarkan kesiapannya, pembeli dapat dibagi menjadi: (1) yang tidak menyadari keberadaan suatu produk, (2) yang menyadarinya, (3) yang memiliki informasi tentang produk tersebut, (4) yang menginginkan produk itu, dan (5) yang bermaksud membelinya.
• Sikap, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi berdasarkan sikap konsumen terhadap produk. Kelompok sikap yang dapat ditemukan dalam suatu pasar adalah antusias, positif, tak acuh, negatif, dan benci.

VARIABEL TUJUAN PERJALANAN (PURPOSE OF TRIP)
Pasar dalam bidang pariwisata dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan utama pelanggan dalam melakukan perjalanan. Tujuan perjalanan dianggap sebagai faktor yang berpengaruh besar terhadap perilaku pelanggan. Berdasarkan tujuan perjalanannya, pasar dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu pasar perjalanan bisnis (business travel market) dan pasar perjalanan personal dan untuk bersenang-senang (pleasure and personal travel market). Kedua jenis pasar ini mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda. Misalnya, orang yang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang lebih sensitif terhadap harga bila dibandingkan dengan orang bisnis.

Karena variabel tujuan perjalanan ini merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi perilaku pelanggan, segmentasi pasar dalam pemasaran pariwisata sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan two-stage atau multistage segmentation, dimana tujuan perjalanan menjadi dasar utama segmentasi (Morrison, 1996).

VARIABEL PRODUK TERKAIT (PRODUCT-RELATED)
Segmentasi pasar yang menggu¬nakan variabel produk terkait pada intinya adalah mengelompokkan pelanggan berdasarkan kebutuhan dan keinginannya yang berkaitan dengan jenis pelayanan tertentu yang diberikan organisasi. Misalnya restoran fast-food dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan makanan yang murah, berkualitas, standard, dan disajikan dengan cepat. Karena itu, pasar dapat dibagi berdasarkan produk yang diberikan organisasi, seperti pasar perjalanan wisata insentif, pasar kapal pesiar, pasar judi casino, dan lain sebagainya.

Segmentasi produk terkait harus digunakan sebagai bagian dari two-stage atau multistage segmentation. Segmentasi ini juga bermanfaat apabila pengguna pelayanan tertentu mempunyai karakteristik yang berbeda dengan yang bukan pengguna, atau dapat dijangkau secara langsung dengan bentuk promosi tertentu (Morrison, 1996).

VARIABEL SALURAN DISTRIBUSI (CHANNELS OF DISTRIBUTION)
Bila segmentasi pasar yang menggunakan variabel-variabel yang telah dibicarakan di atas membagi pelanggan, maka segmentasi yang menggunakan variabel saluran distribusi bukan membagi pelanggan secara langsung tetapi membagi perantara perjalanan wisata (travel intermediaries) atau perdagangan perjalanan wisata (travel trade). Yang menjadi konsep dasar segmentasi saluran distribusi ini ialah bahwa pemasaran pariwisata mempunyai pilihan: (1) pemasaran langsung kepada pelanggan, (2) pemasaran melalui organisasi perantara/intermediary orga¬n-izations (misalnya, agen perjalanan wisata), atau kombinasi dari (1) dan (2). Pemasaran langsung kepada pelanggan dan pemasaran melalui organisasi perantara memerlukan pendekatan yang berbeda (Morrison, 1996).

Jadi, segmentasi saluran distribusi berarti membagi perantara perjalanan wisata atau perdagangan perjalanan wisata berdasarkan fungsi dan ciri-ciri umumnya. Sebagaimana pelanggan, perantara perjalanan wisata pun bermacam-macam. Mereka dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya menjadi: (1) pengecer jasa perjalanan wisata (agen perjalanan wisata), (2) perancang perjalanan insentif yang dipersiapkan menurut pesanan (incentive travel planners), dan (3) pengembang atau koordinator tour dan paket-paket liburan (tour wholesalers dan operators). (Morrison, 1996).

KRITERIA SEGMENTASI PASAR YANG EFEKTIF
Segmentasi pasar terdiri dari dua tahap kegiatan yang saling berkaitan. Pertama, membagi keseluruhan pasar ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan karakteristiknya (segmen pasar) dengan menggunakan dasar segmentasi tertentu, misalnya berdasarkan geografis, demografis, atau psikografis seperti telah dibahas di atas. Kedua, menyeleksi di antara segmen-segmen pasar tersebut, segmen-segmen pasar yang dapat dilayani organisasi/perusahaan dengan baik (pasar sasaran), menggunakan seperangkat kriteria segmentasi pasar (Morrison, 1996).

Kotler, Bowen, Makens (1998) dan Zeithaml & Bitner (1996) mengemukakan agar pasar sasaran yang dipilih dapat efektif, maka ia harus memenuhi kriteria: measurability, accessibility, substantiality, dan actionability. Lumsdon (1997) menambahkan dua kriteria lagi selain empat kriteria tersebut, yaitu identifiable dan cohesive. Sedangkan Morrison (1996) menambahkan lima kriteria, yaitu defensible, durable, competitive, homogeneous, dan compatible. Berikut ini penjelasan dari kriteria tersebut :

• Measurable, yaitu bahwa ukuran, daya beli, dan profil segmen pasar yang dipilih harus dapat diukur.
• Accessible, yaitu bahwa segmen pasar tersebut harus dapat dijangkau dan dilayani secara efektif oleh organisasi.
• Substantial, yaitu bahwa segmen pasar yang dipilih harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani.
• Actionable, yaitu bahwa dengan dipilihnya segmen-segmen pasar tersebut harus memungkinkan untuk diambil tindakan oleh organisasi, seperti program-program efektif yang dirumuskan untuk menarik dan melayani segmen-segmen tersebut.
• Identifiable, yaitu bahwa segmen pasar yang terpilih harus terdiri dari orang-orang yang dapat diidentifikasi mencari keuntungan-keuntungan yang sama dari suatu penawaran jasa pariwisata.
• Cohesive, yaitu bahwa suatu segmen harus secara jelas dapat diidentifikasi dan dipisahkan dari segmen lainnya untuk tujuan pengukuran, misalnya ia harus mempunyai ciri-ciri tersendiri. Pemasar harus dapat mengidentifikasi sekelompok orang yang berperan sebagai pemersatu.
• Defensible, yaitu bahwa pasar sasaran yang dipilih harus dapat dipertahankan dari para pesaing. Untuk itu pemasar harus yakin bahwa perhatian yang diberikan organisasi kepada pasar-pasar sasaran benar-benar dilakukan secara individual, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
• Durable, yaitu bahwa segmen pasar yang dipilih harus yang bertahan lama. Beberapa segmen pasar berlangsung pendek, tidak lebih dari lima tahun. Meskipun ada beberapa yang sangat menguntungkan dengan cepat mengembalikan modal investasi, namun kebanyakan tidak menguntungkan. Para pemasar yang bijak harus yakin dulu bahwa masing-masing pasar sasaran yang dipilihnya berpotensi berlangsung lama.
• Competitive, yaitu daya saing dari jasa yang diberikan organisasi berkenaan dengan segmen pasar. Jadi pemasar harus melihat bahwa apa yang ditawarkan organisasi itu benar-benar sesuatu yang berbeda dan unik bagi pelanggan tersebut. Semakin tepat jasa yang diberikan memenuhi kebutuhan segmen tertentu, semakin terbuka kemungkinan berhasilnya.
• Homogeneous, yaitu bahwa pasar yang sudah terbagi ke dalam segmen-segmen tertentu harus betul-betul berbeda antara satu dengan yang lainnya (heterogen). Sebaliknya, orang-orang atau pelanggan yang ada dalam satu segmen perlu diupayakan se-homogen mungkin.
• Compatible, Yaitu bahwa pasar sasaran yang dipilih tidak boleh bertentangan dengan pasar yang sudah terlayani. Artinya, pasar sasaran yang baru tersebut harus compatible atau cocok dengan customer mix (kombinasi pasar sasaran yang dilayani organisasi) yang sudah ada.

PENUTUP
Penetapan variabel-variabel apa saja yang dijadikan dasar segmentasi merupakan langkah awal yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya pemasaran yang akan dilakukan. Di pihak lain, menentukan variabel mana yang akan dijadikan dasar terbaik dalam melakukan segmentasi pasar bukanlah hal yang mudah. Agar para pemasar memiliki bahan perbandingan dalam memilih variabel dasar segmentasinya, maka mereka perlu mengenali dan mencermati variabel-variabel yang telah dan sering digunakan para pakar/peneliti pemasaran.

Dalam pemasaran pariwisata dikenal tujuh macam variabel yang dapat dijadikan dasar segmentasi pasar, yaitu variabel geografis, demografis, psikografis, perilaku, tujuan perjalanan, produk terkait, dan saluran distribusi. Para pakar pemasaran menyarankan untuk menggunakan pendekatan multistage segmentation atau menggunakan kombinasi dari variabel-variabel tersebut agar segmentasi yang dilakukan lebih efektif.


DAFTAR PUSTAKA
Frochot, Isabelle & Alastair M. Morrison. 2000. “Benefit Segmentation: A Review of Its Applications to Travel and Tourism Research.” Journal of Travel & Tourism Marketing, Vol. 9, No. 4, 21-45

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, edisi revisi. Prenhallindo, Jakarta

___________; John Bowen; James Makens. 1998. Marketing for Hospitality and Tourism, 2nd ed. Prentice Hall, New York

Lumsdon, Les. 1997. Tourism Marketing. International Thomson Business Press, London

Malhotra, R.K. 1997. Encyclopaedia of Hotel Management and Tourism, Vol.3: Tourism Marketing. Anmol Publications, New Delhi.

Morrison, Alastair M. 1996. Hospitality and Travel Marketing, 2nd ed. Delmar Publishers, Albany

Sung, Heidi Y.; Alastair M. Morrison. 2000. “Segmenting the Adventure Travel Market by Activities: From the North American Industry Providers’ Perspective.” Journal of Travel & Tourism Marketing, Vol. 9, No. 4, 1-20

Teare, Richard, et al. 1994. Marketing in Hospitality and Tourism: a Consumer Focus. Cassell, London

Witt, Stephen F. and Luiz Moutinho (eds). 1994. Tourism Marketing and Management Handbook, 2nd ed. Prentice Hall, New York.

Zeithaml, Valarie A. & Mary Jo Bitner. 1996. Services Marketing. McGraw-Hill, New York

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol.07, No.1, Maret 2002)

Tourism Planning


FAKTOR KEAMANAN DALAM PERENCANAAN PARIWISATA


OLEH:
RAHMAT INGKADIJAYA


PENDAHULUAN
Kunjungan wisatawan mancane¬gara ke Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 dipastikan akan mengalami penu¬runan. Hal ini disebabkan kejadian-kejadian beruntun yang menimpa negeri kita sempat menciptakan citra Indonesia di mata dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk dikunjungi. Pemerintah Jepang misal¬nya, telah mengeluarkan larangan terhadap warga negaranya untuk mengunjungi Indonesia kecuali Bali. Citra tidak aman tersebut kemudian diperteguh dengan banyaknya warga negara asing, baik swasta maupun anggota kedutaan dan keluarganya, dan warga keturunan Cina yang meninggalkan negeri ini menjelang pelaksanaan kampanye dan pemilu 1999 (Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999).

Kenyataan tersebut tentu saja memprihatinkan. Kita tahu dari data statistik bahwa hingga tahun 1996 sektor pariwisata terus menunjukkan sumbangan yang berarti dalam perolehan devisa negara (lihat Tabel-1), sehingga banyak kalangan, baik pemerintah maupun para pakar, memperkirakan pada tahun 2003 pariwisata akan menyumbang devisa terbesar dari sektor non-migas, dan pada tahun 2005 akan menjadi penghasil devisa utama menggantikan posisi migas. Tetapi apa mau dikata, harapan ini menjadi pupus setelah terjadinya kebakaran hutan dan wabah demam berdarah di beberapa tempat di negeri ini pada tahun 1997, dan disusul kemudian dengan berbagai huru-hara dan kerusuhan sebagai akibat instabilitas politik (political instability). Indonesia menjadi negara yang dianggap tidak aman untuk dikunjungi. Biro-biro perjalanan, hotel-hotel, tempat-tempat tujuan wisata menjadi sepi. Karena tidak adanya pemasukan, banyak di antara mereka yang kondisinya “sekarat”. Kondisi ini diperparah lagi dengan berlang¬sungnya krisis ekonomi yang berke¬panjangan yang tidak hanya ber¬dampak buruk terhadap sektor pariwisata, melainkan juga terhadap hampir semua sektor riil lainnya.

Namun, apapun yang terjadi janganlah membuat kita putus asa. Setiap musibah pasti ada hikmahnya dan kita mesti pandai-pandai mengambil pelajaran dari hikmah tersebut. Adapun hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari musibah yang menimpa dunia pari¬wisata adalah bahwa faktor keamanan ternyata begitu penting dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat. Sedemikian pentingnya se-hingga betapapun suatu tempat mempunyai keindahan alam yang tiada tara dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, itu semua belumlah cukup sebagai “magnet” untuk mena¬rik wisatawan berkunjung ke tempat itu bila mereka menganggap tempat tersebut tidak aman.

Mengingat peranannya yang begitu penting sebagai daya tarik pari¬wisata, maka faktor keamanan perlu diberi porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang. Apalagi bila kita hendak menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam perolehan devisa negara.

PERENCANAAN PARIWISATA
Pariwisata dapat memberikan manfa’at dan juga mudlarat. Manfa’at pariwisata dalam bidang ekonomi misalnya, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan income per-capita, meningkatkan devisa, dlsb. (lihat Tabel-2). Sedangkan mudlarat-nya, bisa menimbulkan kerusakan lingkungan alami, lingkungan terbangun, dan lingkungan budaya (lihat Tabel-3, Tabel-4, dan Tabel-5). Perencanaan pengembangan pariwisata dimaksudkan agar aktivitas pariwisata dapat menghasilkan keuntungan atau manfa’at sebesar-besarnya, dan menghilangkan atau menekan mudlarat/dampak negatifnya seminimal mungkin.

Tujuan tersebut tampak sederhana, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah karena pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sangat kom¬pleks yang mempunyai karak¬teristik sebagai berikut:

a) Multi-dimensional. Pariwisata ber¬dimensi banyak, mencakup dimensi fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
b) Multi-sektoral. Pariwisata ber¬kaitan erat dengan sektor-sektor lainnya, seperti pertanian, per-ikanan, manufaktur, transportasi, berbagai pelayanan dan fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya.
c) Multi-produk. Produk yang dita¬warkan pariwisata itu bermacam-macam sesuai dengan demand wisatawan, di antaranya ialah wisata alam, wisata agro, wisata lingkungan, wisata budaya, wisata bahari, wisata air, wisata ziarah, konvensi, dlsb.
d) Multilevel. Pariwisata juga meli¬batkan banyak tingkatan, mulai dari tingkat komunitas lokal, provinsial, nasional, sampai tingkat global.

Melihat begitu kompleksnya akti¬vitas pariwisata, maka pengembangan pariwisata perlu direncanakan secara komprehensif, holistik, dan integratif. Inskeep (1991) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pari-wisata karenanya harus menggunakan suatu pendekatan yang mencakup unsur-unsur berikut ini:

a) Pendekatan yang berkesinam¬bungan, incremental, dan fleksibel (Continuous, incremental, and flexible approach). Perencanaan pariwisata dipandang sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan dimungkinkan melakukan penyesuaian-penye¬su¬aian yang diperlukan berdasarkan hasil monitoring dan umpan balik (feedback), tetapi dalam kerangka pemeliharaan tujuan dasar dan kebijakan pengembangan pari¬wisata.
b) Pendekatan sistem (Systems approach). Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling terkait dan harus direncanakan menggunakan teknik analisis sistem.
c) Pendekatan komprehensif (Com¬prehensive approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem, seluruh aspek pengembangan pariwisata, termasuk unsur-unsur institusional, implikasi sosio-ekonomi dan lingkungan dianalisis dan direncanakan secara kompre¬hensif. Karena itu pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan holistik.
d) Pendekatan yang terintegrasi (Integrated approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem dan komprehensif, pariwisata direnca¬nakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem terintegrasi, baik antar unsur-unsur di dalam sistem itu sendiri maupun dengan ren¬cana dan pola-pola pemba¬ngunan secara keseluruhan.
e) Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Environmental and sustainable development approach). Pariwisata direncanakan, dikem-bangkan, dan dikelola sedemikian rupa sehingga sumberdaya alam dan budaya tidak habis atau menurun, tetapi terpelihara sebagai sumberdaya yang hidup terus menjadi dasar permanen untuk penggunaan terus-menerus di masa depan. Analisis daya angkut/muat (carrying capacity analysis) merupakan suatu teknik yang penting digunakan dalam pendekatan pembangunan berke-lanjutan dan berwawasan lingkungan ini.
f) Pendekatan komunitas (Community approach). Terdapat keter¬kaitan maksimum komunitas lokal dalam perencanaan dan pengam¬bilan keputusan kepariwisataan dan, lebih jauh lagi, terdapat partisipasi maksimum komunitas dalam pengembangan dan mana-jemen pariwisata, serta keun¬tungan-keuntungan sosio-ekono¬minya.
g) Pendekatan implementable (Imple¬mentable approach). Kebijakan, rencana, dan rekomendasi pe¬ngembangan pariwisata diformula¬sikan menjadi realistik dan dapat diimplementasikan. Formulasi kebijakan dan rencana itu meng¬gunakan teknik-teknik implemen¬tasi, yang mencakup strategi atau program aksi dan pengembangan.
h) Aplikasi proses perencanaan sistematik. Proses perencanaan sistematik diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan pada urutan logik aktivitas-aktivitas. (Inskeep, 1991:29)
Pendekatan tersebut di atas diaplikasikan secara konseptual pada semua tingkat dan jenis perencanaan pariwisata. Tetapi bentuk spesifik aplikasinya, tentu saja, bervariasi tergantung pada jenis perencanaan yang diambil.

Perencanaan pariwisata dipersiap¬kan pada berbagai tingkatan. Setiap tingkatan memfokuskan diri pada derajat kekhususan yang berbeda. Perencanaan tersebut hendaknya dipersiapkan dalam urutan dari yang umum ke yang spesifik, sebab tingkatan yang umum memberikan kerangka dan arahan untuk mempersiapkan rencana-rencana spesifik. Urutan tingkatan itu dimulai dari tingkat perencanaan internasional, perencanaan nasional, perencanaan regional/provinsial, perencanaan sub-regional/provinsial, perencanaan daerah wisata, perencanaan fasilitas pariwisata, dan design fasilitas pariwisata.

DAYA TARIK WISATA
Perencanaan pengembangan pari¬wisata tersebut di atas mencakup komponen-komponen sebagai berikut:

a) Daya tarik wisata. Yaitu semua sumber daya alam dan budaya, keistimewaan-keistimewaan dan aktivitas-aktivitas yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
b) Akomodasi. Hotel dan jenis ako¬modasi lainnya tempat wisatawan menginap selama melakukan perjalanannya, beserta pelayanan-pelayanan yang diberikan.
c) Fasilitas dan pelayanan pari¬wisata lainnya. Fasilitas dan pelayanan pariwisata lainnya yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata di antaranya ialah biro dan agen perjalanan (disebut juga receptive services), restoran dan jenis tempat makan lainnya, toko barang kerajinan, souvenir, bank, tempat penukaran uang, dan fasilitas dan pelayanan keuangan lainnya, kantor informasi wisata, pelayanan pribadi seperti pe¬mangkas rambut dan salon kecantikan, fasilitas pelayanan medis, fasilitas pelayanan polisi dan pemadam kebakaran, dan fasilitas kepabeaan dan imigrasi.
d) Transportasi. Transportasi ke negara yang bersangkutan, trans¬portasi antar provinsi dan antar kota, transportasi ke dan dari daerah tujuan wisata. Mencakup semua jenis transportasi, yaitu transportasi darat, laut, dan udara.
e) Infrastruktur lainnya. Di samping transportasi, infrastruktur lainnya yang diperlukan antara lain air, listrik, telepon, drainage, dlsb.
f) Unsur-unsur institusional. Unsur-unsur institusional yang diper¬lukan dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata mencakup perencanaan sumber daya manu¬sia beserta program-prog¬ram pelatihan dan pendidikannya, strategi pemasaran dan program promosi, struktur organisasi kepariwisataan baik pemerintah maupun swasta, peraturan perundang-undangan kepariwisataan, kebijakan-kebi¬jakan investasi, program-program pengawasan mengenai dampak ekonomi, sosio-budaya, dan lingkungan. (Inskeep, 1991: 38-39)

Yang paling penting dari keenam komponen tersebut adalah komponen daya tarik wisata. Komponen inilah yang menyebabkan seorang wisatawan mengunjungi suatu tempat/daerah tujuan wisata. Wisatawan datang ke Yogya misalnya, bukan untuk me-nginap di hotel berbintang, tetapi untuk melihat kraton, borobudur, sekatenan, melihat kehidupan masya¬rakat setempat beserta adat-istiadatnya, dan sebagainya. Sedang¬kan komponen-komponen lainnya merupakan penunjang dari komponen daya tarik. Misalnya, biro perjalanan merupakan sarana yang memudahkan wisatawan dalam melakukan per¬jalanan wisata, dan hotel atau akomodasi lainnya membuat wisa¬tawan dapat menikmati daya tarik wisata lebih lama.

Daya tarik wisata biasanya dike¬lompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:

a) Daya tarik wisata alam (Natural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya alam, seperti iklim, pemandangan alam, laut dan pantai, flora dan fauna, cagar alam, dll.
b) Daya tarik wisata budaya (Cultural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya budaya, seperti situs dan peninggalan-peninggalan sejarah budaya, adat istiadat, seni dan kerajinan tangan, museum, festival budaya, dll.
c) Daya tarik wisata khusus (Special types of attractions) ialah daya tarik wisata yang tidak termasuk ke dalam dua kategori di atas yang sengaja dibuat atau diciptakan, seperti taman-taman hiburan dan sirkus, pusat perbelanjaan, fasilitas pertemu-an/konferensi/konvensi, peristiwa khusus (Olympiade, ASIAN Games, Sea Games, PON, dll), kasino dan tempat hiburan (nightclub dan disco), fasilitas rekreasi dan olah raga, dll.

Ketiga kategori daya tarik wisata tersebut memberikan peluang bagi suatu daerah atau negara untuk mengembangkan pariwisatanya. Dan agar daya tarik wisata ini memberikan keuntungan sebesar-besarnya, maka pengembangannya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.

FAKTOR KEAMANAN
Selain ketiga daya tarik wisata tersebut di atas masih ada daya tarik wisata lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu keamanan atau rasa aman. Meskipun suatu daerah/negara mempunyai keindahan alam yang sangat menawan dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, wisatawan tidak akan berani berkunjung ke daerah/negara itu bila mereka menganggap daerah/negara tersebut tidak aman bagi dirinya.

Menurut Richter (1992) pengaruh keamanan terhadap pariwisata sebe¬tulnya sangat jelas, tetapi banyak negara-negara berkembang tidak memasukkannya dalam perencanaan pengembangan pariwisata mereka sebelum masalah-masalah yang ditimbulkan oleh faktor ketidak¬amanan terjadi. (Richter, 1992:39) Kasus yang diungkapkan oleh Richter tersebut rupanya teralami juga oleh Indonesia. Untuk itu di masa-masa mendatang faktor keamanan ini perlu mendapat porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata nasional maupun daerah.

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau menimbulkan ketidakamanan (insecurity), antara lain adalah:

a) Wabah penyakit, misalnya demam berdarah, malaria, muntaber, dsb.
b) Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, lahar gunung berapi, dsb.
c) Kecerobohan manusia yang me¬nimbulkan bencana dan kece¬lakaan, misalnya bencana keba¬karan hutan.
d) Kriminalitas, seperti perampokan, perkosaan, penodongan, dsb.
e) Kesenjangan sosial-ekonomi masya¬rakat sekitar daerah tujuan wisata yang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap pengusaha pariwisata dan wisatawan, yang diungkapkan melalui perbuatan-perbuatan kri-minal (penjarahan, pencurian, pengrusakan, dsb.).
f) Pelanggaran norma-norma atau nilai-nilai budaya setempat oleh para wisatawan, yang menim-bulkan konflik antara wisatawan dengan penduduk setempat.
g) Instabilitas politik (political instability) yang menimbulkan huru-hara, kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, dsb.

Lebih jauh lagi untuk faktor instabilitas politik, Richter (1992) membaginya menjadi empat macam, yaitu:

a) Instabilitas di negara kawasan/¬tetangga dapat mempengaruhi negara lainnya karena menggang-gu lalu lintas udara, laut, dan darat; atau karena publisitas mengenai instabilitas tersebut mempengaruhi seluruh kawasan.
b) Pergolakan internal di suatu negara yang walaupun mungkin daerah rawannya jauh dari daerah tujuan wisata namun pemberitaan media massa dapat menciptakan citra tidak aman negara tersebut secara keseluruhan, sehingga negara lain melarang warganya untuk mengadakan perjalanan ke negara itu.
c) Aksi-aksi dari kelompok anti-pemerintah yang mengganggu para wisatawan. Apakah untuk mepermalukan pemerintah yang bersangkutan, atau untuk mele¬mahkan perekonomiannya, atau sekedar untuk mencari perhatian dunia internasional terhadap permasalahan politik yang terjadi di negara tersebut.
d) Instabilitas politik yang dise¬babkan kebijakan-kebijakan pe¬ngembangan pariwisata itu sendiri yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat, seperti yang terjadi di Philipina pada jaman rezim Marcos berkuasa. Sa’at itu Keluarga Marcos dan kroninya membangun hotel mewah dengan menggunakan dana pinjaman yang sebenarnya diperuntukkan untuk Jaring Pengaman Sosial. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan rakyat.(Richter, 1992: 33-46).

Semua faktor yang dapat menyebabkan ketidakamanan tersebut di atas harus ditangani secara komprehensif dalam perencanaan pariwisata. Untuk itu perlu adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga/instansi-instansi lainnya. Untuk masalah wabah penyakit misalnya, perlu kerjasama dengan Departemen Kesehatan, dan untuk masalah kriminalitas perlu kerjasama dengan pihak kepolisian. Perlu juga adanya pengamanan jalur-jalur wisata dari serangan orang-orang yang ingin mengganggu wisatawan.

Di samping itu, pihak pengusaha pariwisata pun harus peka terhadap keadaan sosial-budaya dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan wisata, agar konflik antara masyarakat dengan pihak pengusaha pariwisata dan wisatawan dapat dihindarkan.

PENUTUP
Di dalam milenium ketiga nanti, sektor pariwisata diharapkan akan menjadi sektor andalan sebagai penyumbang terbesar devisa negara. Karena itu, dengan menimba pengalaman dari kejadian-kejadian belakangan ini yang sangat tidak menguntungkan bagi berkembangnya sektor ini, kita perlu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang.

Perhatian terhadap faktor keamanan ini akan semakin penting lagi bilamana ternyata sektor pariwisata benar-benar menjadi sektor andalan peraih devisa. Karena dengan begitu sektor pariwisata akan menjadi penentu keberhasilan perekonomian kita. Sementara itu kita tahu sektor ini sangat rawan terhadap isu ketidakamanan.


DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. Statistik kunjungan tamu asing 1996. Jakarta, 1997.

Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Direktorat Jenderal Pariwisata. Analisis pasar wisatawan mancanegara 1997. Jakarta, 1997

Gunn, Clare A. Tourism planning, 2nd edition. New York: Taylor & Francis, 1988

Hartanto, Frans Mardi. “Menjelang pembangunan pariwisata yang berkelanjutan: perspektif perencanaan kebijaksanaan” dalam Prosiding pelatihan dan lokakarya perencanaan pariwisata berkelanjutan, editor Myra P. Gunawan. Bandung: Penerbit ITB, 1997

Inskeep, Edward. Tourism planning: an integrated and sustainable development approach. New York: Van Nostrand Reinhold, 1991

“Mencari rasa aman”. Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999: hal. 15

Richter, Linda K. “Political instability and tourism in the Third World” in Tourism & the less developed countries, edited by David Harrison. London: Belhaven Press, 1992

Rudini. “Jaring pengaman sosial untuk pemulihan ekonomi” dalam Sinergi, EdisiXXI/1998: hal. 23-26.

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol.04, No.1, Agustus 1999)

Thursday, April 17, 2008

knowledge management

KREASI PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ORGANISASIONAL
Oleh:
Rahmat Ingkadijaya



PENDAHULUAN
Telah banyak penulis yang mengungkapkan mengenai pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan organisasi. Barton, misalnya, menyimpulkan bahwa lingkungan yang berubah dengan cepat dan yang akan berlangsung terus di masa depan harus direspons dan dihadapi dengan mencari stabilitas yang mendasari ketidakpastian yang terjadi. Stabilitas ini terletak pada pengetahuan yang dimanifestasikan dalam kemampuan inti (core capabilities) organisasi (Muluk, 2003:3).


Kesadaran akan pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan organisasi ini pulalah yang telah memicu perkembangan manajemen pengetahuan (knowledge management) pada tahun 1990-an. Ilkka Tuomi berhasil mengumpulkan, menganalisis, memilah-milah, dan menyusun literatur atau penelitian di bidang manajemen pengetahuan menjadi apa yang disebut sebagai knowledge management taxonomy. Dalam taksonominya, Tuomi membagi studi manajemen pengetahuan ke dalam tiga disiplin. Disiplin pertama adalah kecerdasan organisasi (organizational intelligence), yaitu cara organisasi dan anggotanya mempersepsi, memahami, dan mempelajari lingkungannya. Dengan menggunakan metafora kecerdasan, dapat ditelusuri beragam tradisi penelitian yang masuk dalam perspektif ini telah terpusat pada persepsi, sensemaking, pembelajaran, dan memori organisasi.

Disiplin kedua, pengembangan organisasi mendekati manajemen pengetahuan dari perspektif yang lebih analitis dan intervensionis. Beberapa fokus yang termasuk dalam disiplin ini adalah manajemen aset pengetahuan, pengembangan kerja dan sumberdaya manusia, kompetisi berbasis pengetahuan, dan pengembangan proses.

Disiplin yang ketiga adalah pemrosesan informasi pada tingkatan organisasi. Meskipun pembahasan struktur keorganisasian diarahkan pada tingkatan makro dari arus informasi organisasi, secara lebih ekstensif hal ini dibahas dari sudut pandang aliran pesan pada tingkatan mikro. Sebagai kebalikan dari struktur pada tingkatan makro, pandangan ini memusatkan perhatian pada pola komunikasi dalam suatu organisasi. Disiplin ini menekankan fokusnya pada komunikasi organisasi, pembagian informasi (information sharing), dan pemrosesan informasi (Muluk, 2003:7).

Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengikuti tradisi disiplin yang ketiga, yakni membahas kreasi pengetahuan dalam perspektif komunikasi organisasional. Mengapa komunikasi? Karena komunikasi merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia. Di setiap aktivitas manusia di manapun, proses komunikasi senantiasa berlangsung. Tak terkecuali dalam proses kreasi pengetahuan di dalam organisasi. Kita memang makhluk yang selalu berkomunikasi, tetapi kita tidak selalu menjadi komunikator yang efektif. Sekalipun dengan teman hidup kita sehari-hari seringkali terjadi miscommunication. Di masyarakat pun tak jarang kita saksikan miscommunication ini berakibat fatal. Karena itu, bukan hal mustahil, proses kreasi pengetahuan di dalam organisasi tidak dapat berjalan efektif jika proses komunikasi yang berlangsung di dalam organisasi tersebut tidak efektif.

PROSES KREASI PENGETAHUAN DALAM ORGANISASI
Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995:6), perusahaan-perusahaan Jepang dapat meraih kesuksesan karena keahlian dan pengalaman mereka dalam kreasi pengetahuan. Berkat kreasi pengetahuan inilah mereka dapat melahirkan inovasi yang berkelanjutan dan menjadi daya saing bagi mereka.

Kreasi pengetahuan adalah mencapai hubungan sinergi dalam organisasi antara pengetahuan tacit dan pengetahuan explicit , yang berlangsung melalui suatu proses sosial dengan cara mengubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan explicit (Ma’arif dan Tanjung, 2003:12).

Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang bersifat tak terlihat, tak bisa diraba kecuali disampaikan. Pengetahuan tacit ada di dalam masing-masing orang, pribadi-pribadi, bersifat unik, tidak tertulis, tapi diketahui. Di samping itu pengetahuan tacit terdapat juga di dalam sekelompok orang. Yaitu pengetahuan yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang namun sifatnya masih tidak terlihat dan ada di dalam pikiran kelompok itu.

Sedangkan pengetahuan explicit adalah pengetahuan formal yang mudah dijelaskan kepada perseorangan atau kelompok. Kalau pengetahuan yang sifatnya tacit ini kemudian dikeluarkan, ditulis atau direkam, maka sifatnya lantas menjadi explicit. Bentuk pengetahuan explicit dapat dimiliki secara pribadi. Biasanya dalam bentuk catatan, buku harian, alamat teman, fotokopi dan segala bentuk eksplisit yang disimpan perorangan secara pribadi. Selain itu ada juga yang dipakai bersama-sama oleh sekelompok orang dalam bentuk tulisan tangan sampai internet. Dengan kata lain pengetahuan eksplisit yang di-share atau dibagikan agar dapat diakses oleh banyak pihak. Nonaka dan Takeuchi menggambarkan proses kreasi pengetahuan di dalam organisasi dengan model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization). Menurut mereka, konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit melalui proses sosialisasi. Konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit melalui proses eksternalisasi. Penggabungan pengetahuan explicit dan pengetahuan explicit melalui proses kombinasi. Dan konversi dari pengetahuan explicit ke pengetahuan tacit melalui proses internalisasi.

Sosialisasi ialah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan tacit dengan berbagai pengalaman. Misalnya, dengan cara magang atau praktek kerja sebagai upaya untuk mendapatkan keterampilan melalui pengamatan, peniruan, dan praktek keahlian baru.

Eksternalisasi ialah proses mengubah pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit dengan memakai konsep metafora, analogi, dan model. Eksternalisasi merupakan inti aktivitas kreasi pengetahuan dan sering terlihat selama fase konsep pengembangan produk baru. Eksternalisasi adalah tindakan melalui dialog atau refleksi kolektif.

Kombinasi ialah proses kreasi dari pengetahuan explicit, yaitu perubahan individu dan penggabungan pengetahuan explicit melalui percakapan, pertemuan, memo, dan sebagainya. Informasi yang ada dan database komputer dikelompokkan, disusun, dan dipilih sehingga menghasilkan pengetahuan explicit baru.
Yang terakhir, internalisasi, ialah proses mewujudkan pengetahuan explicit ke pengetahuan tacit dalam bentuk model shared mental atau dipraktekkan. Keempat proses tersebut di atas tidak hanya berlangsung sekali jalan, tetapi berlangsung terus-menerus di dalam organisasi.

Bila kita cermati keempat proses tersebut (sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi), maka semua dapat berlangsung karena adanya komunikasi. Oleh karena itu, berikut ini penulis uraikan terlebih dahulu apa itu komunikasi? Jenjang komunikasi apa saja yang terdapat di dalam organisasi?

KOMUNIKASI ORGANISASIONAL
Para pakar komunikasi mengatakan “human beings cannot not communicate.” Manusia tidak bisa tidak berkomunikasi. Selama hidupnya manusia senantiasa berkomunikasi. Paling tidak berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Komunikasi menurut Tubbs dan Moss (1996: 5) adalah “proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.” Sedangkan menurut Kreps (1986: 27), “human communication occurs when a person responds to a message and assigns meaning to it.” Dari dua pengertian komunikasi tersebut kita dapat menangkap bahwa dalam proses komunikasi terdapat komunikan (orang-orang yang terlibat dalam komunikasi), proses memaknaan pesan yang akan disampaikan (encoding), proses pemaknaan pesan yang diterima (decoding).
Karena komunikasi merupakan bagian hidup manusia, maka komunikasi ada dimana-mana, termasuk di dalam organisasi. Menurut Kreps (1986:53), komunikasi yang berlangsung di dalam organisasi meliputi: komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication), komunikasi interpersonal (interpersonal communication), komunikasi kelompok kecil (small-group communication), dan komunikasi multikelompok (multigroup communication).

Komunikasi Intrapersonal (Intrapersonal Communication)
Komunikasi intrapersonal adalah jenjang komunikasi insani yang paling dasar. Komunikasi intrapersonal merupakan proses bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Jadi dalam komunikasi intrapersonal, orang berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses intrapersonal mencakup sensasi, persepsi, memori, dan berpikir.

Sensasi adalah tahap paling awal dalam penerimaan informasi. Sensasi berasal dari kata “sense” yang artinya alat penginderaan yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Ketika alat-alat indera mengubah informasi menjadi impuls-impuls saraf, dengan bahasa yang dimengerti oleh otak, maka terjadilah proses sensasi (Rakhmat, 1991:49).

Proses selanjutnya adalah persepsi yaitu pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desiderato dalam Rakhmat, 1991: 51).

Persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor fungsional dan faktor-faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk ke dalam faktor-faktor personal. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Sedangkan faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.

Unsur yang ketiga adalah memori. Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi baik persepsi dengan menyediakan kerangka rujukan maupun berpikir (Rakhmat, 1991:62). Menurut Schlessinger dan Groves, memori adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebaban organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya (Rakhmat, 1991:62). Setiap saat stimuli mengenai indera kita, setiap saat pula stimuli itu direkam secara sadar atau tdak sadar. Kemampuan rata-rata memori manusia untuk menyimpan informasi, menurut John Griffith, seorang ali matematika, sebesar 1011 (seratus triliun) bit. Sedangan menurut John von Neumann, seorang ahli teori informasi, sebesar 2.8 x 1020 (280 kuintiliun) bit.

Memori melewati tiga proses, yaitu perekaman, penyimpanan, dan pemanilan. Perekaman (disebut encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf internal. Penyimpanan (storage) adalah menetukan berapa lama informasi itu berada beserta kita, dalam bentuk apa, dan dimana. Penyimpanan dapat aktif atau pasif. Kita menyimpan secara aktif bila kita menambahkan informasi tambahan. Sedangkan secara pasif bila tidak terjadi penambaan (Rakhmat, 1991:63).

Proses keempat yang mempengaruhi penafsiran kita terhadap stimuli adalah berpikir. Dalam berpikir kita melibatkan semua proses sebelumnya, yaitu sensasi, persepsi, dan memori. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decison making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity).

Secara garis besar ada dua macam berpikir: berpikir autistik dan berpikir realistik. Berpikir autistik mungkin lebih tepat disebut melamun, misalnya fantasi, menghayal, dan wishful thinking. Dengan berpikir autistik rang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Berpikir realistik disebut juga nalar (reasoning), yaitu berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L.Ruch menyebut tiga macam berpikir realistik, yakni: deduktif, induktif, dan evaluatif (Rakhmat, 1991:69.

Berpikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum dan yang kedua pernyataan khusus. Dalam logika disebut silogisme. Sebaliknya, berpikir induktif, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum. Dalam berpikir induktif kita melakukan generalisasi. Berbeda dengan dua cara berpikir sebelumnya, berpikir evaluatif adalah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kreteria tertentu.

Selain ketiga cara berpikir tersebut, terdapat cara berpikir lainnya yang disebut berpikir analogis. Dalam berpikir analogis, orang umumnya mengunakan perbandingan atau kontras. Cara berpikir inilah yang biasanya disebut sebagai berpikir kreatif. Berpikir kreatif itu sendiri menurut Coleman dan Hammen adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understandings, new inventions, new work of art” (Rakhmat, 1991:74).

Berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistik sangat jarang terjadi. Tetapi kebaruan saja tidak cukup. Karena itu perlu syarat kedua, yaitu bahwa kreativitas itu dapat memecahkan persoalan secara realistik. Dan syarat ketiga, kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin.

Orang-orang kreatif ternyata berpikir analogis, mereka mampu melihat berbagai hubungan yang tidak terlihat oleh orang lain. Orang biasa juga sering berpikir analogis, tetapi berpikir analogis orang kreatif ditandai oleh sifatnya yang luar biasa, aneh, dan kadang-kadang tidak rasional.

Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif, yaitu sebagai berikut:
1. Orientasi: Masalah dirumuskan, dan aspek-aspek masalah diidentifikasi.
2. Preparasi: Pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah.
3. Inkubasi: Pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar.
4. Iluminasi: Masa inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah.
5. Verifikasi: Tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat.
Coleman dan Hammen menyebutkan tiga faktor yang menandai orang-orang kreatif, yaitu:
1. Kemampuan kognitif: Termasuk disini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan, dan fleksibelitas kognitif.
2. Sikap yang terbuka: Orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal dan eksternal; ia memiliki minat yang beragam dan luas.
3. Sikap yang bebas, otonom , dan percaya diri.
(Rakhmat, 1991:77)

Ketiga proses yang terjadi dalam komunikasi intrapersonal tersebut di atas (sensasi, persepsi, dan berpikir) sudah pasti terjadi dalam proses kreasi pengetahuan.

Komunikasi Interpersonal (Interpersonal Communication)
Proses komunikasi kedua yang terjadi dalam oganisasi adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal terjadi ketika individu melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal.

a. Persepsi interpersonal
Istilah persepsi interpersonal digunakan untuk persepsi pada objek manusia. Sedangkan persepsi pada objek selain manusia disebut persepsi objek. Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada objek, stimuli ditangkap oleh alat indera melalui benda-benda fisik: gelombang cahaya, gelombang suara, temperatur, dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga.

Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat indera. Kita tidak hanya melihat perilakunya, tetapi juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu.

Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita dan kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Sebaliknya pada persepsi interpersonal, baik objek maupun kita akan memberikan reaksi emosional. Yang terakhir, objek relatif tetap, sedangkan manusia berubah-ubah.

Persepsi interpersonal, pada kenyataannya seringkali tidak cermat. Akibatnya, bila kedua belah pihak menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah kegagalan komunikasi (communication breakdowns). Kegagalan komunikasi ini dapat diperbaiki bila orang menyadari bahwa persepsinya mungkin salah. Komunikasi interpersonal akan menjadi lebih baik bila masing-masing yang terlibat dalam komunikasi mengetahui bahwa persepsinya bersifat subjektif dan cenderung keliru. Hal ini disebabkan persepsi kita tentang orang lain cenderung stabil, sedangkan persona stimuli adalah manusia yang selalu berubah. Adanya kesenjangan antara persepsi dengan realitas sebenarnya mengakibatkan bukan saja perhatian selektif, tetapi juga penafsiran pesan yang keliru.


b. Konsep Diri
Faktor kedua yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adala konsep diri. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (Rakhmat 1991:99). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologis, sosial, dan fisis.

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Oleh karena itu, sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri, positif atau negatif.

Menurut Brooks dan Emmert, ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka terhadap kritik. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Ketiga, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Yang terakhir, orang yang konsep dirinya negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan sifat berikut ini:
1. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.
2. Ia merasa setara dengan orang lain.
3. Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
4. Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya (Rakhmat, 1991:105).

Dari konsep diri positif akan lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif juga, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat juga.

c. Atraksi Interpersonal
Faktor ketiga yang mempengaruhi komunikasi interpersonal ialah atraksi interpersonal. Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang.
Sudah diketahui secara umum, bahwa pendapat dan penilaian kita tentang orang lain tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional. Manusia adalah juga makhluk emosional. Karena itu, ketika kita menyenangi seseorang, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengan dia secara positif. Sebaliknya, jika kita membencinya, kita cenderung melihat karakteristiknya secara negatif.
Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan (orang-orang yang terlibat dalam komunikasi).

d. Hubungan interpersonal
Faktor terakhir yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah hubungan interpersonal. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan dipahami, tetapi hubungan di antara komunikan menjadi rusak.
Hubungan interpersonal berlangsung melewati tiga tahap: pembentukan hubungan, peneguhan hubungan, dan pemutusan hubungan. Pembentukan hubungan interpersonal sering disebut sebagai tahap perkenalan, yaitu proses komunikasi dimana individu mengirimkan secara sadar atau menyampaikan kadang-kadang tidak sengaja informasi tentang struktur dan isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan (Duck dalam Rakhmat, 1991:125).

Hubungan interpersonal tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, perubahan memerlukan tidakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu: keakraban, kontrol, respons yang tepat, dan nada emosional yang tepat.

Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan. Faktor kedua adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa, dan bilamana. Konflik terjadi umumnya bila masing-masing pihak ingin berkuasa, atau tidak ada pihak yang mau mengalah.

Faktor yang ketiga adalah ketepatan respons. Artinya, respons A harus diikuti oleh respons B yang sesuai. Dalam konteks ini ada gunanya disini membagi respons ke dalam dua kelompok, yaitu konfirmasi dan diskonfirmasi. Konfirmasi akan memperteguh hubungan interpersonal, sedangkan diskonfirmasi akan merusakkannya. Respons yang termasuk konfirmasi adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan langsung. Misalnya, mengakui kebenaran pernyataan lawan bicara.
2. Perasaan positif.
3. Respons meminta keterangan.
4. Respons setuju.
5. Respons suportif.
Sedangkan respons yang termasuk diskonfirmasi adalah sebagai berikut:
1. Respons sekilas. Memberikan respons, tetapi segera mengalihkan pembicaraan.
2. Respons impersonal. Memberikan komentar dengan menggunakan kata ganti orang ketiga.
3. Respons kosong. Tidak menghiraukan sama sekali.
4. Respons yang tidak relevan.
5. Respons interupsi. Memotong pembicaraan sebelum orang selesai bicara dan mengambil alih pembicaraan.
6. Respons rancu. Berbicara dengan kalimat yang rancu.
7. Respons kontradiktif. Pesan verbal bertentangan dengan pesan nonverbal.

Faktor keempat yang memelihara hubungan interpersonal adalah keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya komunikasi. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinannya salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi.

Tahap pemutusan hubungan interpersonal dapat terjadi bila di antara komunikan terjadi konflik. Nye menyebutkan ada lima sumber konflik, yaitu sebagai berikut:
1. Kompetisi: salah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain, misalnya menunjukkan kelebihan dalam bidang tertentu dengan merendahkan orang lain.
2. Dominasi: salah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang itu merasakan hak-haknya dilanggar.
3. Kegagalan: masing-masing berusaha menyalahkan yang lain apabila tujuan bersama tidak tercapai.
4. Propokasi: salah satu pihak terus-menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain.
5. Perbedaan nilai: kedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka anut.
(Rakhmat, 1991:129)

Komunikasi Kelompok Kecil (Small-Group Commnication)
Di dalam organisasi sering berlangsung komunikasi kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Komunikasi kelompok kecil terjadi bila ada tiga orang atau lebih berinteraksi untuk membicarakan/membahas sesuatu hal atau untuk mencapai tujuan tertentu. Berbeda dengan komunikasi interpersonal yang hanya melibatkan dua orang, komunikasi kelompok kecil melibatkan orang yang lebih banyak sehingga lebih kompleks. Hal ini disebabkan makin banyak orang yang terlibat dalam komunikasi, makin banyak pesan yang dipertukarkan. R.Bostrom menghitung kemungkinan interaksi yang berpotensi terjadi dikaitkan dengan ukuran kelompok. Menurutnya semakin besar ukuran kelompok, semakin banyak pula interaksi yang bakal terjadi.

Selain masalah ukuran, dalam komunikasi kelompok juga terdapat dinamika kelompok, potensi untuk terbentuknya sub-kelompok di antara aggota kelompok yang bersangkutan, yang akan menambah kompleksnya komunikasi.
Untuk memahami komunikasi kelompok, ada baiknya kita ketahui dulu apa itu kelompok. Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Orang-orang yang berkumpul di terminal bus, yang antri di depan loket, yang berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat, bukan kelompok.

Supaya agregat menjadi kelompok diperlukan kesadaran pada anggota-anggotanya akan ikatan yang sama ayang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda psikologis. Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok, ada sense of belonging, yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain.

Para ahli komunikasi kelompok membagi kelompok ke dalam tiga kelompok besar, yaitu kelompok tugas, kelompok pertemuan, dan kelompok penyadar. Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya. Kelompok penyadar mempunyai “tugas” utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. (Rakhmat, 1991:148)

Dari ketiga jenis kelompok tersebut, kelompok tugas lebih cocok sebagai kelompok kreasi pengetahuan. Aubrey Fisher meneliti tindak komunikasi kelompok tugas, dan menemukan bahwa kelompok melewati empat tahap, yaitu orientasi, konflik, pemunculan, dan peneguhan (Rakhmat, 1991:175).

Pada tahap pertama, setiap anggota berusaha saling mengenal, saling menangkap perasaan yang lain, mencoba menemukan peranan dan status. Ini adalah tahap pemetaan masalah. Tindak komunikasi pada tahap ini umumnya menunjukkan persetujuan, mempersoalkan pernyataan, dan berusaha memperjelas informasi. Anggota kelompok cenderung tidak seragam dalam menafsirkan usulan.

Tahap kedua (konflik), terjadi peningkatan perbedaan di antara anggota. Masing-masing berusaha mempertahankan posisinya. Terjadi polarisasi dan kontraversi di antara anggota kelompok. Tindak komunikasi pada tahap ini kebanyakan berupa pernyataan tidak setuju, dukungan pada pendirian masing-masing, dan biasanya menghubungkan diri dengan pihak yang pro atau kontra.

Pada tahap ketiga (pemunculan), orang mengurangi tingkat polarisasi dan perbedaan pendapat. Disini anggota yang menentang usulan tertentu menjadi bersikap tidak jelas. Tindak komunikasi umumnya berupa usulan-usulan yang ambigu.

Pada tahap keempat (peneguhan), para anggota memperteguh konsensus kelompok. Mereka mulai memberikan komentar tentang kerjasama yang baik dalam kelompok dan memperkuat keputusan yang diambil oleh kelompok. Pernyataan umumnya bersifat positif dan melepaskan ketegangan.
Dalam kelompok tugas, komunikasi kelompok dapat dipergunakan untuk menyelesaikan tugas, memecahkan persoalan, membuat keputusan, atau melahirkan gagasan kreatif.

Menurut Cragan dan Wright, format diskusi kelompok dibagi ke dalam: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, macam-macam forum, kolokium, dan prosedur parlementer (Rakhmat, 1991:179-180).
1. Diskusi meja bundar. Pada diskusi meja bundar, susunan tempat duduk yang bundar menyebabkan arus komunikasi yang bebas di antara anggota-anggota kelompok. Susunan ini biasanya digunakan untuk diskusi yang sifatnya terbatas. Pada diskusi meja bundar, terjadi jaringan komunikasi semua saluran. Di antara anggota ada hubungan sosial yang demokratis. Format meja bundar memungkinkan individu berbicara kapan saja, tanpa ada agenda yang tetap. Meja bundar mengisyaratkan waktu yang tidak terbatas dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Meja bundar juga lebih informal.
2. Simposium. Simposium adalah serangkaian pidato pendek yang menyajikan berbagai aspek dari sebuah topik atau posisi yang pro dan kontra terhadap masalah yang kontroversial, dalam format diskusi yang sudah dirancang sebelumnya.
3. Diskusi panel. Diskusi panel adalah format khusus yang anggota-anggota kelompoknya berinteraksi, baik berhadap-hadapan maupun melalui seorang mediator, di antara mereka sendiri dan dengan hadirin, tentang masalah yang kontroversial.
4. Macam-macam forum. Forum adalah waktu tanya-jawab yang terjadi setelah diskusi terbuka, misalnya simposium. Jadi khalayak mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan. Ada lima macam forum, yakni: (a) forum ceramah, (b) forum debat, (c) forum dialog, (d) forum panel, dan (e) forum simposium.
5. Kolokium. Kolokium adalah sejenis format diskusi yang memberikan kesempatan kepada wakil-wakil khalayak untuk mengajukan pertanyaan yang sudah dipersiapkan kepada seorang atau beberapa orang ahli. Kolokium agak bersifat formal, dan diskusi diatur secara ketat oleh seorang moderator. Moderator mengizinkan seorang penanya untuk menanyakan satu pertanyaan pada satu saat secara bergiliran. Ahli biasanya hanya diizinkan menjawab pertanyaan, dan tidak boleh bertanya.
6. Prosedur parlementer. Prosedur parlementer adalah format diskusi yang secara ketat mengatur peserta diskusi yang besar pada periode waktu tertentu ketika sejumlah keputusan harus dibuat. Para peserta harus mengikuti peraturan tata tertib yang telah ditetapkan secara eksplisit. Prosedur parlementer, disebut demikian karena berasal dari tata tertib sidang di parlemen atau majelis permusyawaratan rakyat, dirancang untuk memenuhi beberapa tujuan pokok. Pertama, untuk memaksakan keinginan mayoritas tanpa kekerasan atau untuk menekan suara minoritas kalau mayoritas mencapai dua pertiga majelis. Dengan suara dua pertiga, sidang dapat dihentikan atau ditangguhkan. Kedua, untuk secara ketat memaksa kelompok mendiskusikan hanya satu persoalan pada satu saat. Ketua mengatur siapa yang bicara dan bila perlu mengesampingkan seorang anggota jika pembicaraannya tidak berkaitan dengan masalah utama. Ketiga, mengusahakan agar para anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Argumen yang pro dan kontra terhadap mosi utama dapat diajukan. Tata tertib parlemen dijalankan dengan ketat sehingga sidang dapat menentukan siapa yang dapat berbicara, untuk berapa lama, dan berapa kali.

Dari berbagai format diskusi di atas, komunikasi kelompok kecil, karena jumlah anggotanya sedikit, mungkin lebih cocok dilakukan melalui diskusi meja bundar.

Komunikasi Multikelompok (Multigroup Communication)
Komunikasi multikelompok terjadi bilamana suatu kelompok (misalnya suatu bagian) berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lainnya (bagian-bagian lainnya) dalam organisasi dalam rangka tugas-tugas dan pencapaian tujuan organisasi. Komunikasi multikelompok dapat disebut juga komunikasi kelompok besar atau komunikasi organisasi itu sendiri. Komunikasi multikelompok merupakan bagian integral dari fungsi organisasi itu sendiri karena melaluinya semua anggota organisasi (dari semua bagian/divisi dalam organisasi) berkoordinasi mengenai aktivitas/tugas-tugas mereka dalam pencapaian tujuan organisasi.

Karena melibatkan banyak orang, komunikasi multikelompok lebih kompleks lagi bila dibandingkan degan komunikasi kelompok kecil. Namun, beberapa format diskusi dari Cragan dan Wright di atas dapat digunakan untuk melakukan komunikasi multikelompok ini. Teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat dewasa ini dapat juga dimanfaatkan.

KOMUNIKASI DALAM PROSES KREASI PENGETAHUAN
Berdasarkan model SECI seperti yang sudah dikemukakan di atas, Nonaka dan Takeuchi (1995:84) menjelaskan proses kreasi pengetahuan di dalam organisasi melalui lima tahap, yaitu: berbagi pengetahuan tacit (sharing tacit knowledge), menciptakan konsep (creating concept), justifikasi konsep (justifying concept), membangun pola dasar (building an archetype), dan pengetahuan lintas jenjang (cross-leveling of knowledge).

Di lain pihak, Kreps mengemukakan jenjang komunikasi yang berlangsung di dalam organisasi mencakup: komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil, dan komunikasi multikelompok.

Dengan menggunakan dua penjelasan ini, penulis mencoba melihat jenjang komunikasi yang berlangsung di dalam masing-masing tahap kreasi pengetahuan.

Berbagi Pengetahuan Tacit (Sharing Tacit Knowledge)
Organisasi tidak dapat melakukan kreasi pengetahuan oleh dirinya sendiri. Orang-orang yang ada di dalam organisasilah yang mengkreasi pengetahuan. Setiap orang dalam organisasi memiliki pengetahuan tacit yang mungkin sangat berguna bagi organisasi. Akan tetapi pengetahuan tacit tidak dapat dikomunikasikan atau ditransfer kepada orang lain dengan mudah.

Untuk berbagi pengetahuan tacit ini, maka perlu “arena” dimana individu-individu dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya melalui dialog tatap muka. Di dalam arena itulah mereka saling bertukar pengalaman dan menyamakan persepsi mengenai sesuatu. Biasanya arena tersebut adalah suatu tim yang beranggotakan orang-orang dari berbagai departemen yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan umum. Nonaka dan Takeuchi mencontohkan tim tersebut seperti Matsushita’s Home Bakery Team dan Tim Honda Team.

Kepada tim tersebut, pihak manajemen memberikan tantangan, misalnya untuk menciptakan sesuatu yang masih abstrak. Dengan tantangan itulah anggota tim kemudian melakukan dialog bertukar pikiran dan pengalaman mereka masing-masing. Mereka saling bertukar pengetahuan tacit. Ini disebut proses sosialisasi dalam model SECI.

Dalam tahap ini, setiap anggota melalukan komunikasi intrapersonal, berkomunikasi dengan dirinya sendiri secara intensif dalam rangka menanggapi tantangan atau stimuli yang diberikan pihak manajemen. Proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir berkecamuk dari diri masing-masing anggota tim.

Selain komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal juga akan sangat intensif dalam tahap ini. Karena kemungkinan mereka akan melakukan komunikasi dengan orang yang memiliki kedekatan atau kesamaan dengan mereka terlebih dahulu. Walaupun secara kelompok kecil, mereka juga melakukan komunikasi, tetapi intensitasnya belum intensif. Sedangkan komunikasi multikelompok belum terjadi.

Dalam melakukan komunikasi interpersonal, mereka akan dipengaruhi persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Apabila mereka menyadari itu semua, maka kemungkinan besar komunikasi interpersonal akan berlangsung efektif, sehingga proses berbagi pengetahuan tacit pun berlangsung efektif.

Menciptakan Konsep (Creating Concepts)
Pada tahap kedua, yakni menciptakan konsep, terjadi interaksi antara pengetahuan tacit dan pengetahuan explicit secara intensif. Pengetahuan tacit diverbalisasi dalam bentuk kata-kata atau frase sehingga dimengerti orang lain. Ini berkaitan dengan proses eksternalisasi dalam model SECI.

Proses konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit difasilitasi oleh kemampuan berpikir secara deduktif, induktif, dan analogis. Akan tetapi cara berpikir analogislah yang paling berperan. Dalam tahap ini tercipta konsep yang biasanya merupakan metafora atau analogi. Misalnya dalam menciptakan mobil City, tim Honda menggunakan frase “Automobile Evolution,” “Man-maximum, Machine-minimum,” dan “Tall Boy” (Nonaka dan Takeuchi, 1995:86).

Pada tahap ini, proses komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal masih berlangsung intensif. Selain itu, komunikasi kelompok juga berlangsung intensif karena melaluinyalah suatu istilah atau konsep disepakati bersama. Tahap-tahap komunikasi kelompok tugas dari Aubrey Fisher yang telah diterangkan di atas mungkin berlangsung disini.

Justifikasi Konsep (Justifying Concepts)
Konsep-konsep yang telah diciptakan oleh anggota tim perlu “diuji” kelayakannya atau perlu dijustifikasi pada beberapa tempat dalam prosedur. Justifikasi mencakup proses menentukan apakah konsep yang baru diciptakan benar-benar bernilai bagi organisasi dan masyarakat. Ini sama dengan proses screening.

Untuk organisasi bisnis, kriteria justifikasi yang normal mencakup biaya, margin laba, dan tingkat kontribusi produk terhadap pertumbuhan perusahaan. Kriteria justifikasi dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Misalnya, dalam kasus Honda City, konsep “the Tall Boy” harus dijustifikasi terhadap visi yang telah ditetapkan oleh top management, yakni menciptakan konsep produk yang secara fundamental berbeda dengan produk-produk yang pernah dibuat perusahaan sebelumnya dan menciptakan sebuah mobil yang tidak mahal dan juga tidak murah. Ia juga harus dijustifikasi terhadap konsep product-line yang diartikulasinya oleh middle management, yaitu untuk membuat mobil yang “man-maximum, machine-minimum.” Kriteria yang lebih abstrak dapat mencakup nilai-nilai, seperti petualangan, romantisme, dan estetika. Jadi kriteria justifikasi tidak harus objektif dan faktual saja, tetapi juga dapat bersifat penilaian dan syarat nilai (value-laden).

Dalam tahap justifikasi konsep ini, komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal masih eksis, tetapi intensitasnya mulai berkurang. Sedangkan komunikasi kelompok kecil kemungkinan lebih intensitif karena mereka harus melakukan diskusi bersama-sama secara intensif untuk men-screening konsep yang baru diciptakan dengan kriteria yang ditetapkan.

Membangun Pola Dasar (Building an Archetype)
Pada tahap keempat, membangun pola dasar, konsep yang sudah dijustifikasi dikonversikan menjadi sesuatu yang nyata (tangible) atau konkret, yang disebut sebagai pola dasar. Sebuah pola dasar dapat berbentuk sebuah prototipe dalam kasus proses pengembagan produk baru. Dalam kasus jasa atau inovasi organisasi, suatu pola dasar dapat berbentuk sebuah model mekanisme operasi.

Dalam model SECI, ini merupakan proses kombinasi pengetahuan explicit yang baru diciptakan dengan pengetahuan explicit yang sudah ada. Di dalam membangun sebuah prototipe, misalnya, pengetahuan explicit yang dikombinasikan dapat berbentuk teknologi atau komponen-komponen. Karena konsep yang telah dijustifikasi (yang berupa pengetahuan explicit) dikonversikan menjadi sebuah pola dasar (yang juga berupa pengetahuan explicit), maka fase ini merupakan proses kombinasi.
Karena tahap ini kompleks, maka kerjasama dinamis dari berbagai departemen dalam organisasi tidak dapat diabaikan. Pengetahuan know-how dan teknologi yang dikuasai masing-masing departemen diperlukan untuk membangun pola dasar ini.

Oleh karena itu, komunikasi multikelompok, dalam tahap ini, berlangsung intensif. Sedangkan komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, dan komunikasi kelompok kecil berkurang intensitasnya.

Pengetahuan Lintas Jenjang (Cross-Leveling of Knowledge)
Kreasi pengetahuan di dalam organisasi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, yang terus-menerus diperbarui. Kreasi pengetahuan tidak berakhir ketika sebuah pola dasar berhasil dikembangkan. Konsep baru yang telah diciptakan, dijustifikasi, dan dibuatkan modelnya, bergerak menuju lingkaran kreasi pengetahuan yang baru pada tingkat ontologis yang berbeda. Proses interaktif dan spiral ini disebut pengetahuan lintas jenjang (cross-leveling of knowledge). Proses tersebut dapat berlangsung di dalam organisasi (intra-organizationally) maupun antar organisasi (interorganizationally).

Di dalam organisasi, pengetahuan yang sudah dalam bentuk nyata atau dalam bentuk pola dasar dapat merangsang suatu lingkaran kreasi pengetahuan yang baru, baik dalam hubungan horizontal maupun vertikal dalam organisasi. Sedangkan antar organisasi, pengetahuan yang telah diciptakan organisasi itu dapat memobilisasi pengetahuan dari perusahaan-perusahaan yang berafiliasi, pelanggan, pemasok, kompetitor, dan lain sebagainya yang berada di luar organisasi, melalui interaksi dinamis.

Agar tahap ini berfungsi efektif, maka setiap unit dalam organisasi seharusnya mempunyai kewenangan di dalam mengambil pengetahuan yang telah dikembangkan dimana saja dan menerapkannya pada berbagai tingkatan.

Karena melibatkan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi dan tahap ini merupakan tahap untuk memulai lingkaran kreasi pengetahuan tingkat selanjutnya, maka semua jenjang komunikasi organisasional berlangsung intensif. Ringkasan jenjang komunikasi yang berlangsung dalam proses kreasi pengetahuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

KESIMPULAN
Dari paparan di atas, jelas terlihat bagaimana komunikasi (intrapersonal, interpersonal, kelompok kecil, dan multikelompok) berlangsung pada setiap tahap kreasi pengetahuan (berbagi pengetahuan tacit, menciptakan konsep, justifikasi konsep, membangun pola dasar, dan pengetahuan lintas jenjang).

Proses komunikasi di dalam organisasi tidak selamanya berlangsung efektif. Ilmu komunikasi menunjukkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi efektif-tidaknya komunikasi, baik di jenjang komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil, dan komunikasi multikelompok. Dalam komunikasi interpersonal, misalnya, bagaimana persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal dapat mepengaruhi efektif-tidaknya komunikasi interpersonal tersebut.

Pengetahuan ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh organisasi untuk menciptakan komunikasi organisasional berlangsung efektif. Komunikasi organisasional yang efektif dapat berdampak positif terhadap proses kreasi pengetahuan di dalam organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, Surna Tjahja. “Mengelola Pengetahuan dan Modal Intelektual dengan Pembelajaran Organisasi: Suatu Gagasan untuk Institut Teknologi Bandung” disampaikan sebagai Orasi Ilmiah pada Sidang Terbuka ITB, tgl. 2 Maret 2005, Kampus Institut Teknologi Bandung

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, cet. Ke-15. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

Kadjatmiko dan Haedar Akib. “Memberdayakan Kreasi Pengetahuan dalam Organisasi” dalam Usahawan, No.05, Th. XXX, Juni 2001

Kreps, Gary L. Organizational Communication. New York & London: Longman, 1986

Liliweri, Alo. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997

Ma’arif, M.Syamsul dan Hendri Tanjung. Manajemen Operasi. Jakarta: Grasindo, 2003

Muluk, M.R. Khairul. “Manajemen Pengetahuan: Kebingungan Praktek dan Peta Kajian” dalam Usahawan, No.04, Th. XXXII, April 2003

Nonaka, Ikujiro and Hirotaka Takeuchi. The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford: Oxford University Press, 1995

Nonaka, Ikujiro; R. Toyama: and N. Konno. “SECI, Ba and Leadership: a Unified Model of Dynamic Knowledge Creation” in Managing Knowledge: an Essential Reader, ed. By Stephen Little, Paul Quintas and Tim Ray. London: The Open University & Sage Publications, 2002

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Tubbs, Stewart L. Dan Sylvia Moss. Human Communication: Prinsip-prinsip dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996

Restaurant Marketing


PERAN ANGGOTA KELUARGA DALAM PEMILIHAN RESTORAN DI KAWASAN PUNCAK, KABUPATEN BOGOR

Rahmat Ingkadijaya


ABSTRACT


The purpose of this research are (1) to analyze the roles of familiy members in choosing restaurant, (2) to analyze restaurant attributes those perceived as the most important one by each family members, and (3) to make managerial recommendation for marketing restaurants in Puncak area, Bogor Regency. This research used descriptive method and involved 141 respondents. The respondents were members of family who were eating in restaurants along street in Puncak area. They chosen by convinience sampling technique. The restaurants where respondents taken from were chosen by purposive. Result of reseach showed that children roles were as initiator, gatekeeper, dan influencer. The roles of mother were more flexible because she had roles as initiator, gatekeeper, influencer and decider. Father had only one role but very important that was decider. Restaurant atributes those became priority were taste of food and beverage, food hygien and sanitation, and the cleanness of restaurant. Perception of father, mother, and children about that atributes were same



Keywords: Restaurant, Puncak Area, Consumer Behavior, Family Purchasing Decision Making, Restaurant Attributes, Kruskal-Wallis One Way Analysis of Variance.


PENDAHULUAN

Jumlah wisatawan internasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1990, jumlah wisatawan internasional hanya sekitar 439 juta, maka dalam jangka waktu 15 tahun, yaitu pada tahun 2005 sudah mencapai 806 juta. Bahkan pada tahun 2010, diprediksi akan ada sekitar 1 milyar orang yang melakukan perjalanan wisata, dan pada tahun 2020 bertambah menjadi 1,6 milyar wisatawan. (UNWTO, 2006).

Bila dilihat dari sudut ekonomi, berdasarkan hasil penelitian World Travel & Tourism Council (2006), sektor pariwisata di tingkat internasional menghasilkan US$6.477,2 milyar pada tahun 2006, dan akan meningkat menjadi US$12.118,6 milyar pada tahun 2016, dengan memperkirakan pertumbuhan per tahun sekitar 4.2%.
Di tingkat nasional, berdasarkan data dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, pada tahun 2004, Indonesia menerima 5.321.165 wisatawan dengan penerimaan devisa sebesar US$ 4.797,90 juta. Adapun pada tahun 2005 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sebanyak 5.002.101 dengan penurunan sebesar 6% bila dibandingkan dengan tahun 2004, dan penerimaan devisa sebesar US$ 4.521,90 juta (www.budpar.go.id, tgl.15 Maret 2007). Bagi Indonesia, pariwisata merupakan sektor kegiatan berorientasi ekspor yang memberikan sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas (migas).
Dampak ekonomi dari pariwisata bukan hanya dari kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia, tetapi juga dari aktivitas wisata wisatawan nusantara (wisnus). Keberadaan wisnus ini berkontribusi terhadap perkembangan industri pariwisata dalam negeri. Di samping itu, wisnus juga membantu keberlangsungan hidup industri ini ketika terjadi penurunan jumlah wisman yang datang ke Indonesia. Data wisnus menunjukkan bahwa pada tahun 2004 telah mencapai angka sebesar 111.353.400 wisnus yang melakukan perjalanan dengan jumlah sebesar 202.763.100 perjalanan dan pengeluaran mencapai Rp. 71,70 trilyun. Pada tahun 2005 telah mengalami peningkatan yaitu sebanyak 112.701.200 wisnus yang melakukan wisata dengan jumlah sebesar 213.303.900 perjalanan dan mencapai pengeluaran sebanyak Rp. 77,51 trilyun. Walaupun peningkatan tersebut masih belum signifikan, tetapi jumlah angka perjalanan dan pengeluaran wisnus diproyeksikan akan terus tumbuh signifikan di tahun-tahun mendatang.

Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan, maka semakin berkembang pula bisnis di bidang kepariwisataan. Salah satu bisnis di bidang kepariwisataan yang tumbuh dengan pesat adalah bisnis restoran. Bisnis restoran berkembang, khususnya di kota-kota besar. Jumlah restoran di Indonesia pada sa’at ini diperkirakan mencapai lebih dari 250 ribu yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun yang berbadan hukum jumlahnya kurang dari 36 ribu buah. Dari 36 ribu buah tersebut yang dikelompokkan ke dalam restoran sekitar 10 ribu buah (Capricon Indonesia Consult, 2003 dalam Indrajaya, 2006).
Konsekuensi ekonomis, baik yang langsung maupun tidak langsung, dari aktivitas pariwisata, dapat dilihat secara makro dan mikro. Secara makro, pariwisata telah memberikan sumbangan perolehan devisa bagi negara dan pendapatan bagi daerah, seperti yang telah dikemukakan di atas. Sedangkan secara mikro pariwisata telah memberikan keuntungan langsung bagi para pengusaha atau pelaku bisnis sektor kepariwisataan (Lundberg; et al, 1997).
Kawasan wisata alam Puncak merupakan kawasan wisata yang berada di antara Bogor-Puncak-Cianjur. Selain hawanya yang sejuk, kawasan Puncak memiliki daya tarik unggulan yang lengkap, seperti perkebunan teh Gunung Mas, Taman Safari, Wana Wisata Curug Cilember, Telaga Warna, dan panorama Puncak-Cipanas. Kawasan ini termasuk dalam salah satu daerah tujuan wisata utama bagi wisnus asal DKI Jakarta. Jaraknya yang relatif dekat dari DKI Jakarta dengan aksesibilitas yang sangat baik, menyebabkan kawasan Puncak selalu padat dengan wisatawan terutama pada saat akhir pekan dan hari libur. Kawasan ini juga termasuk dalam jalur overland tour utama Jawa Barat, yang selalu disinggahi oleh wisatawan, baik wisman maupun wisnus.
Di sepanjang jalur Ciawi-Puncak, telah tumbuh dan berkembang bisnis restoran yang siap melayani kebutuhan makanan dan minuman wisatawan yang datang ke kawasan Puncak. Data tahun 2001 saja menunjukkan bahwa dari 174 restoran di Kabupaten Bogor, 77 buah atau 44,25% di antaranya berada di sekitar jalur Ciawi-Puncak. Dengan semakin banyak restoran yang dibangun di jalur itu, menuntut kejelian pemasar dalam merancang strategi pemasarannya.
Para pemasar harus memahami perilaku konsumen agar mampu memasarkan produknya dengan cara yang tepat. Pemahaman mengenai perilaku konsumen mencakup mengapa dan bagaimana konsumen mengambil keputusan konsumsi. Dengan pemahaman tersebut pemasar akan mampu memperkirakan bagaimana kecenderungan konsumen untuk bereaksi terhadap informasi yang diterimanya, sehingga pemasar dapat menyusun strategi pemasaran yang sesuai. Pada akhirnya, pemasar yang memahami konsumen akan memiliki kemampuan bersaing yang lebih baik. (Sumarwan, 2004).
Konsumen restoran di kawasan Puncak dapat diidentifikasi sebagian besar adalah keluarga. Keluarga sebagai konsumen mempunyai karakteristik yang berbeda dengan individu. Pengambilan keputusan pembelian oleh keluarga jauh lebih rumit dibandingkan dengan individu. Setiap anggota keluarga mempunyai peranan masing-masing. Ada yang berperan sebagai pemberi ide (initiator), ada yang mempengaruhi (influencer), ada yang dimintai pendapat (gatekeeper/information gatherer), dan ada yang memutuskan (decider). Mengetahui peranan dari masing-masing anggota keluarga merupakan informasi yang berharga bagi pemasar dalam menyusun strategi pemasaran yang tepat.
Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut:
1. Menganalisis peran dari setiap anggota keluarga dalam pengambilan keputusan pemilihan restoran.
2. Menganalisis atribut-atribut restoran yang dianggap penting oleh setiap anggota keluarga.
3. Merumuskan rekomendasi manajerial mengenai pemasaran restoran di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor.
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada analisis peran anggota keluarga dalam pemilihan restoran di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, dan hanya sampai batas pemberian rekomendasi sebagai masukan bagi pengusaha restoran di kawasan Puncak. Adapun implementasi dari rekomendasi tersebut merupakan wewenang dari masing-masing pengusaha.
Selain itu, keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi pada keluarga inti, yaitu terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Oleh karena itu, kuesioner disebarkan secara terbatas kepada keluarga yang telah memiliki anak yang berusia 15 tahun ke atas. Kuesioner yang dibagikan kepada setiap keluarga berjumlah tiga buah untuk diisi oleh ayah, ibu, dan satu orang anak. Bila jumlah anak dalam satu keluarga lebih dari satu, maka cukup diwakili oleh salah satu anak.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengambilan Keputusan Pembelian Keluarga
Menurut Sumarwan (2004), anggota keluarga dalam pengambilan keputusan pembelian dapat berperan sebagai berikut:
1. Inisiator (initiator), seorang anggota keluarga yang memiliki ide atau gagasan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu produk. Ia akan memberikan informasi kepada anggota keluarga lain untuk dipertimbangkan dan untuk memudahkan mengambil keputusan.
2. Pemberi pengaruh (influencer), seorang anggota keluarga yang selalu diminta pendapatnya mengenai suatu produk atau merek yang akan dibeli dan dikonsumsi. Ia diminta pendapatnya mengenai kriteria dan atribut produk yang sebaiknya dibeli.
3. Penyaring informasi (gatekeeper) atau information gatherer (menurut istilah Hawkins et al, 2000), seorang anggota keluarga yang mengumpulkan dan menyaring semua informasi yang masuk ke dalam keluarga tersebut.
4. Pengambil keputusan (decider), seorang anggota keluarga yang memiliki wewenang untuk memutuskan apakah membeli suatu produk atau suatu merek.
5. Pembeli (buyer) atau purchaser (menurut istilah Hawkins, et al, 2000), seorang anggota keluarga yang membeli suatu produk, atau yang diberi tugas untuk melakukan pembelian produk.
6. Pengguna (user), anggota keluarga yang menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Suatu produk mungkin akan dikonsumsi oleh semua anggota kelarga.
Peranan masing-masing anggota keluarga dalam pengambilan keputusan sangat tergantung pada produk dan jasa yang akan dibeli. Sedangkan pengambilan keputusan itu sendiri biasanya dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) istri dominan dalam mengambil keputusan, (2) suami dominan dalam mengambil keputusan, (3) istri atau suami mengambil keputusan sendiri-sendiri tidak tergantung satu dengan lainnya, (4) istri dan suami mengambil keputusan bersama. (Sumarwan, 2004).
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang keputusan diambil juga oleh anak. Oleh karena itu, empat kategori di atas perlu ditambah kategori-kategori lain, sehingga menjadi: (1) ibu dominan, (2) ayah dominan, (3) anak dominan, (4) ibu dan anak dominan, (5) ayah dan anak dominan, (6) ibu dan ayah dominan, (7) ibu, ayah, dan anak mengambil keputusan sendiri-sendiri, (8) ibu, ayah dan anak mengambil keputusan bersama. Hawkins, et al (2000) menunjukkan kemungkinan tersebut pada proses pengambilan keputusan keluarga dalam pembelian produk untuk anak-anak dimana orang tua dan anak menjadi pengambil keputusan (decision makers).

Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian mengenai pengambilan keputusan pembelian oleh keluarga telah banyak dilakukan, di antaranya adalah Kaynak dan Kucukemiroglu (2000); Nickerson dan Jurowski (2001); Maksum dan Setyaningtyas (2003); Litvin, et al (2004); Koc (2004); dan Harcar, et al (2005).
Kaynak dan Kucukemiroglu (2000) dalam penelitiannya mencoba membandingkan peranan suami dan istri dalam pengambilan keputusan pembelian barang dan jasa di Amerika Serikat dan Turki. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara menyebarkan 600 kuesioner di kota Istanbul (1995) dan Pennsylvania (1996), namun kuesioner yang kembali dan dianalisis sebanyak 385 buah. Dengan menggunakan teknik Correspondence Analysis diperoleh kesimpulan bahwa: (1) dominasi suami lebih kuat di Turki daripada di Amerika Serikat, dan (2) walaupun latar belakang budaya jauh berbeda, tetapi tingkat kesamaan dalam peran pengambilan keputusan pembelian relatif tinggi dari kedua negara.
Nickerson dan Jurowski (2001) meneliti pengaruh anak dalam pengambilan keputusan liburan keluarga. Penelitian bertujuan untuk: (1) menilai kesediaan anak-anak untuk disurvey berkenaan dengan Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang dikunjungi dengan membandingkan respon rata-rata dari anak-anak dan orang dewasa, (2) membandingkan tingkat kepuasan anak-anak dan orang dewasa terhadap DTW yang dikunjungi, (3) mengumpulkan perspektif anak-anak tentang DTW melalui pertanyaan terbuka.
Penelitian menggunakan teknik survey terhadap pengunjung yang meninggalkan kota Virginia dan Nevada. Hanya kelompok yang berhenti di Virginia dan Nevada yang ditanya dan diberikan kuesioner yang dapat dikembalikan melalui post. Untuk keperluan studi, anak-anak yang terpilih berusia antara 10 sampai dengan 17 tahun. Mereka dianggap sudah memiliki kemampuan membaca dan menulis. Jumlah orang dewasa yang disurvey sebanyak 1.209, sedangkan anak-anak hanya 202 orang.
Orang dewasa yang mengembalikan kuesioner sebanyak 600 orang dan anak-anak sebanyak 142 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon anak-anak 20% lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Anak-anak lebih puas pada mayoritas atribut DTW, hanya dua atribut yang dirasakan kurang, yaitu kualitas informasi sejarah dan kebersihan area. Mayoritas anak-anak berpartisipasi melakukan aktivitas-aktivitas yang tersedia di DTW, dan sebagian besar dari mereka merasa puas dengan aktivitas yang dilakukan tersebut. Sebanyak 44% anak-anak akan menceritakan DTW yang dikunjunginya itu kepada teman-temannya sebagai tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi.
Maksum dan Setyaningtyas (2003) meneliti pengaruh struktur keluarga dalam pengambilan keputusan makan di restoran. Proses keputusan melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap konfigurasi yang menguraikan pada sa’at anggota keluarga pertamakali menghadapi situasi keputusan dan memutuskan aturan main; (2) tahap negosiasi merupakan tahap para anggota keluarga mengevaluasi berbagai alternatif yang disarankan; dan (3) tahap final merupakan hasil dari keputusan keluarga yang telah disepakati bersama- sama seluruh anggota keluarga.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 103 keluarga atau 412 orang yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang diambil dari pelanggan tujuh buah restoran yang berlokasi di jalan-jalan utama di sekitar Jakarta. Dengan menggunakan analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa (1) pada tahap konfigurasi, pengaruh ibu lebih besar dari pada ayah dan anak-anak, yaitu sebesar 75,4%; (2) begitu juga pada tahap negosiasi, pengaruh ibu lebih besar daripada ayah dan anak-anak; (3) sedangkan pada tahap final, pengaruh ayah lebih besar daripada ibu dan anak-anak, yakni sekitar 74,8%.
Litvin, et al (2004) meneliti pengambilan keputusan pembelian liburan keluarga. Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian Jenkins (1976) di Ohio dengan jumlah responden 210 orang (105 pasangan), Hsu & Kang (2001) di Kansas dengan 297 orang (169 wanita dan 128 pria yang menikah), Xu (2001) di Singapura dengan jumlah responden 430 orang (215 pasangan). Penelitian bertujuan untuk mengetahui siapa yang paling dominan dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga kategori pengambilan keputusan, yaitu suami dominan, istri dominan, atau keputusan bersama (suami-istri). Hasil penelitian Jenkins menunjukkan bahwa dari tujuh sub-keputusan tiga di antaranya merupakan keputusan bersama. Dari hasil penelitian Hsu & Kang, lima dari tujuh sub-keputusan merupakan keputusan bersama. Sedangkan hasil penelitian Xu menyatakan enam dari tujuh sub-keputusan merupakan keputusan bersama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan keluarga Singapura lebih menyukai keputusan yang diambil bersama (suami-istri) dalam memilih liburan mereka.
Penelitian mengenai pengambilan keputusan pembelian liburan keluarga dengan melibatkan anggota keluarga yang lebih lengkap (ayah, ibu, dan anak) dilakukan oleh Koc (2004). Penelitian bertujuan untuk mengetahui siapa yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Ada tujuh kategori yang memungkinkan memiliki pengaruh, yaitu: ayah, ibu, anak, ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, semua (ayah, ibu, dan anak). Yang dijadikan sampel adalah wisatawan domestik di Turki yang berumur antara 21 sampai 45 tahun dan anak-anak berumur 15 tahun ke atas. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara eksploratori, observasi, focus group studies, dan wawancara final terhadap sekitar seratus orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kelompok wisatawan independent (tidak menggunakan paket wisata), 23,9% keputusan dipengaruhi oleh ibu dan ayah, dan 14,7% oleh ibu seorang. Dalam kelompok wisatawan yang telah membeli paket wisata 1 sampai dengan 2 kali, ayah dan ibu memiliki pengaruh terbesar yaitu sekitar 37,2%, dan kedua terbesar adalah ibu sekitar 25,2%. Sedangkan dalam kelompok wisatawan yang telah membeli paket wisata 3 kali atau lebih, ayah dan ibu juga memiliki pengaruh terbesar yaitu 27,1%, disusul kemudian oleh ibu sebesar 26,4%. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ayah dan ibu secara bersama-sama memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan pembelian liburan keluarga. Demikian juga ibu seorang diri mempunyai pengaruh yang tidak kalah besarnya.
Harcar, et al (2005) melakukan penelitian yang hampir sama dengan penelitian Kaynak dan Kucukemiroglu (2000). Bedanya penelitian Harcar, et al melibatkan keluarga dari lebih banyak negara. Penelitin mereka bertujuan untuk membandingkan peranan suami-istri dalam pengambilan keputusan pembelian berbagai produk dan jasa di lima negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Guatemal, Turki, dan Vietnam.
Data dikumpulkan dengan teknik drop-off/pick-up, yaitu responden ditelpon terlebih dahulu untuk ditanya kesediaannya mengisi kuesioner. Bila bersedia baru dikirimi kuesioner untuk diisi. Kuesioner yang terkumpul dari Guatemala sebanyak 197 buah, Turki sebanyak 241 buah, Amerika Serikat sebanyak 279 buah, Kanada sebanyak 256 buah, dan Vietnam sebanyak 215 buah. Metode analisis data yang digunakan adalah Correspondence Analysis.
Hasil penelitian cukup mengejutkan karena ternyata terdapat tingkat kesamaan yang tinggi mengenai peranan suami-istri dalam pengambilan keputusan pembelian berbagai produk dan jasa di antara lima negara yang diteliti.
Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini ingin mengetahui peran ayah, ibu, dan anak dalam proses pengambilan keputusan pemilihan restoran. Peran yang dimaksud disini terdiri dari initiator, influencer, gatekeeper (information gatherer), dan decider. Di samping itu, penelitian ini juga mengungkap atribut-atribut restoran apa saja yang dianggap penting oleh anggota keluarga.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden di lokasi penelitian dengan mengisi kuesioner. Respondennya adalah anggota keluarga yang sedang makan di restoran-restoran di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data pendukung penelitian yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bogor, BPS Kabupaten Bogor, penelitian-penelitian terdahulu, dan internet.
Pengambilan sampel dilakukan pertama-tama menetapkan restoran tempat mendapatkan responden secara purposive dengan dasar pertimbangan atau kriteria sebagai berikut:
1. Restoran-restoran yang telah memiliki izin resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
2. Restoran tersebut mempunyai kapasitas lebih dari 100 kursi.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka diperoleh lima restoran yang memenuhi syarat.
Kemudian dari setiap restoran tersebut dipilih sepuluh keluarga secara convinience. Kuesioner dibagikan kepada keluarga yang memiliki anak yang telah berusia 15 tahun ke atas. Kuesioner yang dibagikan kepada setiap keluarga berjumlah tiga buah untuk diisi oleh ayah, ibu, dan satu orang anak. Bila jumlah anak dalam satu keluarga lebih dari satu, maka cukup diwakili oleh salah satu anak. Namun dari jumlah kuesioner yang disebar tersebut yang kembali dan dapat diolah lebih lanjut dari masing-masing restoran 141 kuesioner.

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini dilakukan analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis varians satu jalan Kruskal-Wallis. Analisis varians satu jalan Kruskal-Wallis digunakan untuk menguji hipotesis komparasi untuk k sampel independen (lebih dari dua sampel yang tidak berhubungan) bila datanya berbentuk ordinal (data berbentuk rangking atau peringkat). Bila dalam pengukuran ditemukan data berbentuk interval atau rasio, maka perlu diubah dulu ke dalam data ordinal (Sugiyono, 2004).
Dalam penelitian ini diuji perbedaan atau persamaan pemilihan atribut restoran yang dianggap penting di antara anggota keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Tidak terdapat perbedaan persepsi mengenai atribut restoran yang penting di antara ayah, ibu, dan anak.
Ha : Terdapat perbedaan persepsi mengenai atribut restoran yang penting di antara ayah, ibu, dan anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berasal atau bertempat tinggal di Jakarta (57,4%), sedangkan sisanya berasal dari Tangerang (12,8%), Bekasi (10,6%), Bogor (10,6%), Depok (4,3%), Bandung (2,1%), dan Sukabumi (2,1%). Kenyataan ini menguatkan anggapan bahwa kawasan Puncak merupakan daerah tujuan wisata favorit bagi penduduk Jakarta.
Usia responden yang berstatus anak berkisar antara 16 – 24 tahun (87,2%), ibu berkisar antara 34-42 tahun (61,7%), dan ayah berkisar antara 43-51 tahun (61,7%). Sebagian besar responden berstatus ayah bekerja sebagai pegawai swasta (55,3%), demikian pula untuk responden berstatus ibu (38,3%). Tingkat pendidikan terakhir responden, ternyata mayoritas anggota keluarga dengan status ayah (53,2) dan ibu (46,8%) adalah S1, dan status anak (80,8%) adalah SLTA. Mengenai pengeluaran konsumsi responden cukup tinggi dan pengeluaran konsumsi responden yang paling banyak berada di kisaran Rp 2 – 5 juta (35,5%) dan Rp 5-10 juta (17 %).

Perilaku Wisata dan Makan di Restoran
Frekuensi perjalanan wisata responden cukup tinggi, 46,8% menyatakan mereka kadang-kadang melakukan perjalanan wisata dan 39% responden menyatakan bahwa mereka sering melakukannya. Lokasi Puncak dikenal sebagai tempat tujuan wisata penduduk yang berasal dari Wilayah Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Seperti yang telah diketahui, letak Puncak yang relatif dekat dengan kota Jakarta menjadi faktor penentu tingginya frekuensi kunjungan ke wilayah tersebut.
Alasan responden mengunjungi Puncak semakin beragam. Meskipun demikian alasan untuk perjalanan bersama keluarga untuk menikmati panorama dan menginap masih merupakan alasan yang paling banyak diekspresikan, yaitu sebesar 51,1%. Hampir setengah responden atau sebesar 41,8% tidak menentukan waktu yang spesifik kapan akan berwisata bersama keluarga di Puncak.
Tempat makan adalah salah satu bagian penting, dan tempat yang pasti dikunjungi ketika melakukan perjalanan wisata atau berlibur, demikian pula di Puncak. Pemilihan tempat makan responden adalah di rumah makan dan restoran umum.
Jenis makanan yang paling banyak dipilih responden dari beragam jenis makanan yang ditawarkan tempat makan ternyata adalah makanan yang bisa memberikan perasaan mereka telah mengunjungi tempat tersebut. Puncak adalah tempat wisata di wilayah Jawa Barat, sehingga masakan khas Sunda pun menjadi pilihan responden.
Tema restoran juga faktor penunjang penting agar tempat makan dipilih oleh konsumen, karena adanya tema menunjukkan keunikan dari restoran itu sendiri. Data menunjukkan bahwa tema etnis atau tradisional adalah tema yang dianggap paling disukai oleh responden dan keluarga yaitu sebesar 83,7%.

Peran Anggota Keluarga dalam Pengambilan Keputusan
Peran yang ditunjukkan anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh posisi masing-masing dalam keluarga. Hasil penelitian pada kasus pemilihan restoran di wilayah Puncak menunjukkan hal tersebut. Anak berperan sebagai inisiator, gatekeeper ataupun influencer untuk menentukan tempat makan yang akan dikunjungi oleh keluarga, tetapi peran itu hanya sebatas itu saja.
Berbeda dengan anak, ibu dapat masuk ke dalam peran apa saja, dapat sebagai inisiator hingga decider. Hal tersebut diperkirakan karena posisi ibu dalam keluarga sangat fleksibel. Posisi fleksibel ibu menyebabkannya dapat memahami keinginan tiap anggota keluarga sekaligus juga mengetahui kekuatan keluarga untuk memenuhi keinginan tersebut.
Ayah adalah anggota keluarga yang hanya sedikit sekali perannya dalam menentukan tempat makan, meski demikian peran yang dipegangnya sebagai decider sangat strategis dan dapat berakibat pada jadi tidaknya konsumsi tersebut dilakukan.

Tingkat Kepentingan Atribut Restoran
Penelitian atribut dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan atribut yang dianggap paling penting sehingga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan pembelian. Informasi atribut tersebut dibutuhkan oleh perusahaan untuk lebih mengenal kebutuhan dan preferensi konsumen.
Keempat belas atribut yang dianalisis adalah variasi makanan, rasa makanan, cara penyajian, higienis & sanitasi makanan, harga makanan, keramahan pelayanan, kecepatan pelayanan, penampilan pelayan, kebersihan restoran, tata interior restoran, kenyamanan restoran,lokasi, toilet, dan tempat parkir. Tidak semua atribut dipertimbangkan konsumen ketika melakukan pembelian. Pembelian yang dilakukan konsumen biasanya hanya difokuskan pada atribut yang dianggap paling penting.
Atribut yang dianggap paling penting oleh ayah dalam memilih restoran adalah higienis makanan. Dua atribut lain yang dianggap dapat menunjang skala prioritas ayah ketika memilih restoran adalah rasa makanan dan minuman, serta kenyamanan restoran.
Ibu menganggap rasa makanan dan minuman sebagai atribut yang paling penting dalam memilih restoran yang akan dikunjungi. Dua atribut pendukung lainnya adalah higienis makanan dan kebersihan restoran.
Adapun anak menganggap atribut yang paling penting adalah higienis makanan, sedangkan dua atribut pendukung lainnya adalah rasa makanan dan kebersihan restoran.
Secara bersama-sama, atribut yang dianggap paling penting oleh ayah, ibu, dan anak adalah rasa makanan dan minuman. Kemudian diikuti oleh atribut higienis makanan dan kebersihan restoran.

Persepsi anggota keluarga mengenai atribut yang dianggap penting tersebut perlu diuji lebih lanjut dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa dengan taraf kesalahan 5% (0,05) dan dk = 2, dari empat belas atribut restoran yang dikemukakan, ternyata hanya tiga atribut saja yang mempunyai nilai chi-square lebih tinggi dari nilai chi-square pada tabel (5,591).

Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya, tidak terdapat perbedaan persepsi mengenai atribut restoran yang penting di antara ayah, ibu, dan anak. Sehingga persepsi mereka terhadap tiga atribut restoran, yaitu rasa makanan dan minuman, higienis makanan dan kebersihan restoran adalah sama.

Rekomendasi Manajerial
Rekomendasi manajerial dari hasil penelitian ini, pertama dilihat dari unsur segmentasi, targeting dan positioning (STP). Kemudian dilanjutkan dengan rekomendasi strategi bauran pemasarannya.
Penentuan segmentasi konsumen dilakukan dengan menggunakan informasi demografi responden berupa penghasilan atau dalam hal ini pendekatan pengukuran berupa pengeluaran konsumsi. Dilihat dari sudut pengeluaran konsumen yang mencerminkan pendapatannya dapat disimpulkan bahwa restoran di kawasan Puncak dapat ditujukan untuk golongan menengah ke atas.
Konsumen yang dapat dijadikan sebagai target pasar yang potensial untuk perluasan pangsa pasar menengah ke atas yang frekuensi perjalanan wisata khususnya dengan tujuan kawasan Puncak cukup tinggi. Kelompok kosumen ini dijadikan target pasar karena tingginya frekuensi kunjungan dan lama waktu tinggal, sehingga kemungkinan untuk makan di restoran pun akan semakin besar.
Berbagai tampilan citra restoran dapat dimunculkan dengan mengelola preferensi yang ditunjukkan konsumen pada perilaku wisata dan makan di restoran. Keunikan yang dimunculkan tidak terbatas, akan tetapi cukup disesuaikan dengan pilihan-pilihan responden sebelumnya seperti pemilihan tempat untuk makan di rumah makan, jenis makanan yang umumnya dicari adalah makanan Sunda, dan tema restoran yang dianggap menarik adalah tema etnis atau tradisional. Pencitraan juga mencakup atribut restoran, yaitu sebagai restoran yang bersih dan menyediakan makanan yang enak dan higienis.
Strategi produk restoran secara keseluruhan yang harus dikembangkan pihak manajemen sebaiknya didasarkan pada atribut terpenting menurut konsumen. Berdasarkan hasil penelitian, tiga atribut utama yang harus diperhatikan adalah rasa makanan dan minuman, higienis makanan dan kebersihan restoran. Ketiga atribut yang dianggap penting tersebut wajib dicantumkan dalam paket pengembangan restoran.
Pendekatan promosi sebaiknya disesuaikan dengan peran tiap anggota keluarga dalam pengambilan keputusan. Pihak Manajemen harus memfokuskan pendekatan promosi itu untuk membentuk persepsi dalam benak gatekeeper (information gatherer) dan influencer. Anak dan ibu adalah dua anggota keluarga paling menentukan dalam proses penyaringan informasi dan memberikan pendapat-pendapat yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan keluarga sehingga pihak manajemen harus membuat pendekatan yang menarik dua anggota keluarga tersebut.
Salah satu indikator penting yang menjadi tuntutan konsumen mengunjungi restoran adalah kecepatan penyajian makanan. Kecepatan pelayanan berarti waktu tunggu pelayanan yang masih mendapat toleransi oleh konsumen, dengan tidak mengabaikan kualitas produk yang disajikan. Strategi proses yang optimal harus menjadi pertimbangan manajemen terutama di saat-saat waktu pelayanan puncak (peak time), pada saat tersebut konsumen diusahakan tidak menunggu dalam waktu terlalu lama dan kualitas barang dan jasa yang diberikan tidak turun dari standarnya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Keempat peran yaitu inisiator, gatekeeper, influencer, dan decider, tersebar pada status anggota keluarga. Anak umumnya berperan sebagai inisiator, gatekeeper, dan influencer. Ibu memiliki peran yang lebih fleksibel dan tersebar hampir ke seluruh peran yaitu inisiator, gatekeeper, influencer dan decider. Ayah hanya mempunyai satu peran, tetapi peran itu sangat penting yaitu sebagai decider.
b. Atribut yang menjadi prioritas responden dalam pemilihan restoran adalah rasa makanan dan minuman, higienis dan sanitasi makanan, dan kebersihan restoran. Persepsi ayah, ibu, dan anak mengenai pentingnya ketiga atribut tersebut adalah sama.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dan keterbatasan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Penelitian ini terfokus pada penelitian keluarga inti (nucleus family), yaitu terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Padahal pada kenyataannya, pembelian atau makan di restoran banyak dilakukan juga oleh keluarga besar (extended family), yaitu mencakup keluarga inti ditambah kerabat lain, seperti kakek/nenek, paman/bibi, sepupu, dan kerabat karena perkawinan. Oleh karena itu, untuk lebih memahami pembelian yang dilakukan oleh keluarga, terutama yang terjadi di masyarakat Indonesia, perlu dilakukan penelitian-penelitian mengenai pembelian yang melibatkan keluarga besar seperti yang terjadi pada pembelian makan di restoran.
b. Penelitian ini hanya mendeskripsikan peran masing-masing anggota keluarga, yaitu sebagai inisiator, gatekeeper, influencer, dan decider dalam proses pengambilan keputusan pemilihan restoran, serta atribut-atribut restoran apa saja yang dianggap penting oleh mereka. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang dapat menjelaskan seberapa besar pengaruh anggota keluarga yang berperan sebagai inisiator, gatekeeper, dan influencer terhadap anggota keluarga yang berperan sebagai decider; dan dapat menjelaskan seberapa besar pengaruh di antara mereka sendiri. Sehingga nilai penting dari masing-masing peran tersebut dapat teridentifikasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Aaker, D.A.; V. Kumar and G.S. Day. 2001. Marketing Research, 7th edition. John Wiley & Sons, USA

Ahuja, Roshan D. & Mary Walker. 1994. ‘Female-Headed Single Parent Families’ in The Journal of Consumer Marketing. Santa Barbara: 1994. Vol.11, Iss.4, p.41 (14 pp.)

Cebrzynski, G. 2005. Word of Mouth’s Ability to Spark sales Has Marketers Talking. Nation’s Restaurant News, New York: 2005. Vol. 39, Iss 50, Page 1-3,

Dharmmesta, Basu Swastha dan T. Hani Handoko. 2000. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen, edisi pertama. BPFE, Yogyakarta

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. 2007. Data Restoran/Rumah Makan Per-Kecamatan di Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2006. Dinas Budpar Kabupaten Bogor, Bogor

Engel, James F.; Roger D. Blackwell; Paul W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen, edisi keenam. Binarupa Aksara, Jakarta

Folkes, G. & Allen W. 2007. Current Trends in Foodservice And How They Affect The Marketing Mix of American Restaurants. University of Florida and Institut of Food and Agricultural Sciences, Florida.

Green, Robert T.; Bronislaw J.Verhage & Isabella C.M. Cunningham. 1981. ‘Household Purchasing Decisions: How Do American and Dutch Consumers Differ?’ in European Journal of Marketing. Bradford: 1981. Vol.15, Iss.1, p.68 (10pp.)

Green, Robert T. & Isabella C.M. Cunningham. 1980. ‘Family Purchasing Roles in Two Countries’ in Journal of International Business Studies (pre-1986); Spring 1980; 11, 000001; ABI/INForm Global, p.92

Harcar, Talha; John E. Spillan; Orsay Kucukemiroglu. 2005. ‘A Multi-National Study of Family Decision-making’ in Multinational Business Review, Vol. 13, No. 2, p. 3-21

Hawkins, Del I.; Roger J. Best; Kenneth A. Coney. 2000. Consumer Behavior: Building Marketing Strategy, 8th edition. Irwin/McGraw-Hill, Boston

Indrajaya, Bojono. 2006. ‘Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Restoran Penyaji Makanan Hasil Laut: Studi Kasus Pada Restoran Seafood Rasane.’ Tesis. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor

Kasali, Rhenald. 2001. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kaynak, Erdener and Orsay Kucukemiroglu. 2000. ‘A Comparative Study of Family Decision Making in US and Turkish Households by Correspondence Analysis’ in Journal of Targeting, Measurement and Analysis of Marketing, Vol. 9, 3, p. 254-269

Koc, Erdogan. 2004. ’The Role of Family Members in the Family Holiday Purchase Decision-Making Process’ in International Journal of Hospitality & Tourism Administration. Vol.5(2) 2004, p.85-102

Kochilas, D. 1991. Making a Menu. Restaurant Business, New York. 1991. Vol 90. Iss. 17, Page 92, 5

Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran, Edisi Milenium. Jilid Dua. Pearson Education Asia Pte. Ltd dan PT. Prenhallindo, Jakarta.

Kotler, Philip; John T. Bowen; James C. Makens. 2006. Marketing for Hospitality and Tourism, 4th edition. Pearson Education, New Jersey

Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2006. Marketing Management, 12th edition. Pearson Education International, New Jersey

Litvin, Stephen W; Gang Xu; Soo K. Kang. 2004. ‘Spousal Vacation-Buying Decision Making Revisited across Time and Place’ in Journal of Travel Research. Vol.43, November 2004, p.193-198

Lundberg, Donald E. dan John R. Walker. 1993. The Restaurant: From Concept to Operation, 2nd edition. John Wiley & Sons, New York

Lundberg, Donald E.; Mink H.Stavenga; M.Krishnamoorthy. 1997. Ekonomi Pariwisata. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Maksum, Choiril dan Dyiah Setyaningtyas. 2003. ‘Pengaruh Family Structure dalam Pengambilan Keputusan Makan di Restoran’ dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol. 8, No. 1, Maret 2003, p. 23-43

Martinez, Eva and Yolanda Polo. 1999. ‘Determining Factors in Family Purchasing Behaviour: An Empirical Investigation’ in The Journal of Consumer Marketing. Santa Barbara: 1999. Vol. 16, Iss. 5, p. 461-481

Morrison, Alastair M. 2002. Hospitality and Travel Marketing, 3th edition. Delmar Thomson Learning, Albany

Mowen, John C. And Michael Minor. 1998. Consumer Behavior, 5th edition. Prentice-Hall, New Jersey

Nickerson, Norma P. and Claudia Jurowski. 2001. ‘The Influence of Children on Vacation Travel Patterns’ in Journal of Vacation Marketing. Vol.7, No.1, 2001, p.19-30

Ninemeier, Jack D. dan Joe Perdue. 2005. Hospitality Operations: Careers in the World’s Greatest Industry. Pearson Prentice Hall, New Jersey

Palan, Kay M. and Robert E. Wilkes. 1997. ‘Adolescent-Parent Interaction in Family Decision Making’ in Journal of Consumer Research, Sep 1997, 24, 2, p. 159-169

Peter, J. Paul & Jerry C. Olson. 1999. Consumer Behavior and Marketing Strategy, 5th edition. Irwin/McGraw-Hill, Boston

Rangkuti, Freddy. 2003. Riset Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ekonomi IBII, Jakarta

Schiffman, Leon G. & Leslie Lazar Kanuk. 1997. Consumer Behavior, 6th edition. New Prentice Hall International, New Jersey

Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2003. Potret Kabupaten Bogor dalam Otonomi Daerah. Sekda Kabupaten Bogor, Bogor

Simamora, Bilson. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

____________. 2004. Riset Pemasaran: Falsafah, Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sugiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung

Sumarwan, Ujang. 2006. Metode Riset Bisnis. Program Manajemen dan Bisnis IPB, Bogor

_____________. 2004. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghalia Indonesia, Bogor

Todd, Graham. 2001. ’World Travel and Tourism Today’ in Tourism and Hospitality in the 21st Century by A. Lockwood and S. Medlik. Elsevier Butterworth-Heinemann, Oxford

Umar, Husein. 2000. Riset Pemasaran & Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka Utama dan Jakarta Business Research Center, Jakarta

United Nations World Tourism Organization. 2006. Tourism Highlights 2006 Editions.
www.unwto.org

Utami, C. W. 2004. Perbedaan Karakteristik Jasa Dibandingkan Produk Manufaktur : Implikasinya Terhadap Strategi Komunikasi Jasa. Fokus Ekonomi,
www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal

World Travel & Tourism Council. 2006. Indonesia Travel & Tourism Climbing to New Heights: the 2006 Travel & Tourism Economic Research.
www.wttc.org

World Travel & Tourism Council. 2006. World Travel & Tourism Climbing to New Heights: the 2006 Travel & Tourism Economic Research.
www.wttc.org

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol.4, No.2, Oktober 2007)