Sunday, February 8, 2009

Travel Market Segmentation


VARIABEL SEGMENTASI PASAR PERJALANAN WISATA


Rahmat Ingkadijaya


ABSTRACT

With the demand-led and supply-side trends in the tourism and travel industry, the market has become somewhat multi-various and hard to identify. As a consequence, marketers will experience some difficulties to select the best segmentation base. It still helps to use the all time tested and proven variables commonly used by market experts. These variables are geographic, demographic, psychographic, behavioral, purpose of trip, product-related, and channels of distribution. Better yet, multistage segmentation approach or using combination of the variables is highly suggested for more effective segmentation.

Kata kunci : pemasaran, segmentasi pasar, dasar segmentasi

PENDAHULUAN
Segmentasi pasar merupakan bagian dari pemasaran yang sangat penting. Dalam pemasaran pariwisata, segmentasi pasar sudah lama dilakukan. Misalnya, pasar perjalanan wisata sering disegmentasi berdasarkan Negara asal wisatawan (geografis) atau berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan penghasilan wisatawan (demografis). Hasil segmentasi tersebut kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan strategi pemasaran.

Sejalan dengan perkembangan zaman, wisatawan atau orang yang melakukan perjalanan wisata semakin banyak dan kebutuhan/keinginan mereka-pun semakin beragam pula.
Menurut Morrison (1996), beragamnya pasar tersebut disebabkan terjadinya dua jenis trend dewasa ini, yaitu demand-led trends dan supply-side trends. Demand-led trends terjadi karena adanya perubahan struktur umur, perubahan struktur rumahtangga, perubahan peranan dan tanggung jawab rumahtangga, peningkatan pentingnya minoritas, perubahan pola-pola sosial/budaya dan gaya hidup (lifestyles), dan peningkatan tuntutan untuk alternatif perjalanan wisata yang spesifik.

Sedangkan supply-side trends terjadi karena adanya peningkatan penekanan pada pelaku perjalanan wisata yang berulang (frequent travelers), perhatian yang besar terhadap kebutuhan nutrisi dan kebugaran, pemasaran yang lebih banyak kepada pelaku perjalanan eksekutif dan mewah, penekanan yang lebih besar pada paket-paket wisata akhir pekan dan liburan pendek lainnya, perhatian yang lebih besar pada pelaku perjalanan bisnis wanita, penekanan yang lebih besar pada pelaku perjalanan yang tinggal lebih lama, harga yang lebih variatif, kenyamanan yang lebih besar dalam pemberian pelayanan, penawaran makanan etnis yang lebih variatif, dan peningkatan supply penawaran perjalanan yang spesifik.

Keberagaman pasar seperti yang dikemukakan di atas menuntut pemasar pariwisata untuk lebih teliti dan hati-hati dalam mengidentifikasi pasar dan memilih pasar sasarannya. Pemasar yang melakukan segmentasi pasar dengan baik, akan memperoleh beberapa keuntungan, ia akan menggunakan dana pemasarannya lebih efektif, memahami kebutuhan dan keinginan kelompok pelanggan yang terseleksi lebih jelas, dapat melakukan positioning (mengembangkan suatu pelayanan dan bauran pemasaran untuk menempati tempat khusus dalam benak pelanggan potensial pasar sasaran) lebih efektif, dan menyeleksi teknik dan alat promosi lebih cermat/teliti, misalnya dalam pemilihan media iklan, metode promosi penjualan, penempatan secara geografis, dan lain sebagainya (Morrison, 1996).

Segmentasi pasar diakui banyak orang sangat bermanfaat, tetapi tidak mudah untuk melakukannya. Organisasi yang melakukan segmentasi pasar akan terbentur masalah-masalah sebagai berikut: pertama, dengan melakukan segmentasi pasar, organisasi harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar bila dibandingkan dengan tidak melakukan segmentasi pasar. Disini organisasi harus berpikir dua kali untuk mempertimbangkan untung-ruginya. Kedua, kesulitan untuk memilih variabel mana yang akan dijadikan dasar terbaik dalam melakukan segmentasi pasar. Ketiga, kesulitan untuk mengetahui seberapa luas pasar sasaran yang sesuai untuk diambil, karena bila terlalu luas akan terjadi pemborosan dan bila terlalu sempit akan banyak pelanggan potensial yang tidak terjaring. Keempat, kecenderungan untuk menjaring segmen yang tidak aktif atau tidak permanen, sehingga tidak menguntungkan (Morrison, 1996).

Tulisan ini bermaksud membahas masalah pemilihan variabel yang dijadikan dasar dalam melakukan segmentasi pasar. Tulisan difokuskan pada variabel-variabel yang telah digunakan oleh para peneliti pemasaran pariwisata.

PENDEKATAN-PENDEKATAN SEGMENTASI
Sebelum membicarakan variabel-variabel apa saja yang digunakan sebagai dasar segmentasi pasar, perlu diketahui terlebih dahulu pendekatan-pendekatan yang diambil dalam melakukan segmentasi pasar. Menurut Morrison (1996) ada tiga pendekatan dalam segmentasi pasar, yaitu single-stage segmentation, two-stage segmentation, dan multistage segmentation.

Single-stage segmentation adalah suatu pendekatan dalam melakukan segmentasi dengan menggunakan hanya satu variabel sebagai dasar segmentasi. Misalnya, sebuah agen perjalanan wisata membagi pelanggan potensialnya berdasarkan tujuan perjalanannya, untuk bersenang-senang, bisnis, dan lain sebagainya (menggunakan variabel tujuan perjalanan sebagai dasar segmentasi).

Sedangkan di dalam two-stage segmentation menggunakan dua variabel sebagai dasar segmentasi. Variabel pertama sebagai dasar utama dan variabel kedua sebagai dasar tambahan agar lebih spesifik. Misalnya, sebuah agen perjalanan wisata setelah membagi pelanggannya berdasarkan tujuan perjalanannya, kemudian membaginya lagi berdasarkan negara asalnya (dasar geografik).

Multistage segmentation hampir sama dengan two-stage segmentation. Hanya saja dalam multistage segmentation, variabel tambahannya lebih dari satu. Misalnya, sebuah hotel membagi pasarnya berdasarkan tujuan perjalanan, diperoleh pasar convention-meeting. Kemudian pihak hotel mempersempit pasarnya menjadi hanya organisasi/organisasi yang melakukan pertemuan dengan jumlah peserta yang sedikit. Akhirnya pihak hotel membagi lagi perusahaan/organisasi tersebut berdasarkan negara/daerah asalnya.

Penggunaan pendekatan-pendekatan di atas sangat tergantung pada kepentingan masing-masing organisasi dan kondisi di lapangan. Agar segmentasi yang dilakukan lebih efektif Morrison (1996) menyarankan menggunakan pendekatan multistage atau pendekatan kombinasi (mengkombinasikan beberapa variabel dalam segmentasi) menurut istilah Kotler, Bowen, dan Makens (1998).

VARIABEL-VARIABEL SEGMENTASI
Dari perspektif manajemen pemasaran konsumen tradisional (Kotler, Bowen, Makens, 1998; dan Zeithaml & Bitner, 1996), dikenal empat variabel utama yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan segmentasi pasar, yaitu variabel geografis (geographic), demo¬grafis (demographic), psikografis (psychographic), dan perilaku (behavioral). Keempat variabel tersebut bila diterapkan di bidang pariwisata, tidak cukup. Hal itu dikarenakan adanya faktor-faktor yang khas di bidang pariwisata, yaitu faktor: pelayanan dan kualitas hospitalitas, mobilitas konsumen perjalanan wisata, dan interaksi di antara keduanya (Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Karena itu Morrison (1996) menambahkan variabel-variabel: tujuan perjalanan (purpose of trip), produk terkait (product-related), dan saluran distribusi (channels of distribution).

VARIABEL GEOGRAFIS
Segmentasi pasar yang menggunakan variabel geografis sebagai dasar segmentasi berarti membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok pelanggan yang mempunyai kesamaan geografis. Pembagian dapat berdasarkan negara, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan, atau bahkan rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) bila memang dipandang perlu.

Segmentasi geografis paling banyak dipakai di dalam pemasaran pariwisata karena mudah digunakan dan mudah diukur (Morrison, 1996). Pembuatan statistik wisatawan oleh pemerintah juga biasanya menggunakan negara asal wisatawan sebagai dasar pembagiannya.
Contoh faktor-faktor yang dapat dipakai dalam segmentasi geografis dapat dilihat sebagai berikut (Morisson, 1996):

COMMUNITY LEVEL
• Neighborhoods
• Zip/Postal Codes
• Metropolitan Statistical Areas (MSAs)
• Areas of Dominant Influences (ADIs)
• Designated Market Areas (DMAs)
• Local Access and Transport Areas (LATAs)
• Trading Areas
• Cities/Towns
• Population Densities
STATE/PROVINCIAL/COUNTY LEVEL
• County
• State/Province
NATIONAL/INTERNATIONAL LEVEL
• Regions
• Countries
• Continents

VARIABEL DEMOGRAFIS
Variabel demografis yang dipakai dalam segmentasi pasar adalah variabel-variabel yang biasa muncul dalam sensus penduduk, yaitu umur, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan, tingkat pendidikan, agama, ras/suku bangsa, dan lain-lain. Sebagaimana variabel geografis, variabel demografis juga populer dan banyak digunakan dalam pemasaran pariwisata (Morrison, 1996). Keinginan, preferensi, dan tingkat pemakaian konsumen sering sangat berhubungan dengan variabel-variabel demografis. Variabel-variabel demografis juga mudah diukur (Kotler, 1997).
Tabel 1 menyajikan contoh segmentasi demografis yang dibuat oleh Lumdsom (1997).

Variabel demografis seringkali digunakan bersamaan dengan variabel geografis, yang dikenal dengan segmentasi geodemografis. Segmentasi geodemografis merupakan pendekatan two-stage segmentation karena menggunakan dua variabel, yaitu geografis dan demografis.

Table 1. Demographic Segmentation

Table Category Profile Examples
Young children
(4-11) Parents influenced by desires of small children Legoland, Denmark
The World of Disney, Florida
Young people
(11-18) Adventure holidays but with parental approval, guidance PGL Activity Holidays
Youth Hostels Association
Young couples/groups/solos
(18-30) Good fun, flexible, fast paced holidays, including adventure Club 18-30
Inter Rail
Family holidays
(25-50 with younger children) Children are the key to the holiday; activities and relaxation Butlins and Pontins
CenterParcs
Disney World
Empty nester holidays
(45-60) Active ex parents – discovering new tourism destinations, pastimes without children Cruise market such as P&O Cruises or Celebrity Cruises
Senior citizens
(55+) Older people, singles and couples, seeking holidays with include culture, but not paced itineraries Saga Holidays, UK
Elderhostel, USA

Lumsdon (1997).

VARIABEL PSIKOGRAFIS
Variabel psikografis akhir-akhir ini paling banyak dipakai dalam segmentasi pasar perjalanan wisata (Morrison, 1996; Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Variabel psikografis terdiri dari kelas sosial, gaya hidup, dan kepribadian (Kotler, 1997; Kotler, Bowen, & Makens, 1998). Gaya hidup (lifestyle) merupakan variabel psikografis yang sering digunakan.

Menurut Morrison (1996), gaya hidup adalah suatu cara hidup yang dikenali dari cara bagaimana orang menghabiskan waktunya (activities), hal-hal apa yang dianggapnya penting (interests), dan bagaimana ia merasakan tentang dirinya dan dunia di sekitarnya (opinions). Rincian dari masing-masing variabel gaya hidup dapat dilihat pada Tabel 2.

Selain variabel-variabel di atas, yang termasuk variabel psikografis juga adalah motivations dan values (Sung, Morrison, & O’Leary, 2000). Tidak seperti variabel geografis dan demografis, dimana setiap orang menggunakan definisi dan aturan yang sama, variabel psikografis didefinisikan dan dideskripsikan dengan banyak cara. Karena itu, segmentasi psikografis dianggap lebih rumit. Di samping itu, variabel psikografis juga tidak dapat digunakan sendirian, tetapi harus menjadi bagian dari pendekatan two-stage atau multistage segmentation (Morrison, 1996).

Table 2. List of Activities, Interests and Opinions
Activities Interests Opinions
Work Family Themselves
Hobbies Home Social Issues
Social Events Job Politics
Vacations Community Business
Entertainment Recreation Economics
Club Membership Fashion Education
Community Food Products
Shopping Media Future
Sports Achievement Culture
Source: Morrison, 1996


VARIABEL PERILAKU
Variabel perilaku diyakini para pemasar sebagai titik awal terbaik dalam membentuk segmen pasar. Yang termasuk variabel ini adalah kejadian, manfaat, status pemakai, tingkat pemakaian, status kesetiaan, tahap kesiapan pembeli, dan sikap (Kotler, 1997; Kotler, Bowen, & Makens, 1998).

• Kejadian pemakaian, yaitu bahwa pembeli dapat dibedakan menurut kejadian saat mereka mengembangkan kebutuhan, membeli suatu produk, atau memakai suatu produk. Kejadian perjalanan yang utama adalah bisnis, liburan, dan alasan personal atau keluarga lainnya. Contoh dari segmen kejadian pemakaian ini adalah pasar honey-mooner (Morrison, 1996).
• Manfaat, yaitu bahwa pembeli dapat dibedakan berdasarkan manfaat yang mereka cari dari suatu produk. Segmentasi yang menggunakan variabel manfaat pertamakali diperkenalkan oleh Russell Haley pada tahun 1968. Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu metode yang akan memberikan pengertian dan prediksi yang lebih baik daripada segmentasi yang menggunakan variabel geografis atau demografis (Frochot & Morrison, 2000). Banyak pakar pemasaran menganggap variabel manfaat sebagai dasar segmentasi yang terbaik. Hal ini dikarenakan bahwa orang tidak sekedar membeli produk atau pelayanan, tetapi juga membeli manfaat dari produk atau pelayanan yang dibelinya. Karena pentingnya, maka variabel manfaat selalu menjadi dasar segmentasi yang utama (Morrison, 1996).
• Status pemakai, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi menjadi kelompok non-pemakai, bekas pemakai, pemakai potensial, pemakai pertamakali, dan pemakai tetap dari suatu produk. Variabel status pemakai cenderung digunakan sebagai bagian dari pendekatan two-stage atau multi-stage segmentation (Morrison, 1996). Misalnya, segmentasi kombinasi dari variabel geografis, tujuan perjalanan, dan status pemakai.
• Tingkat pemakaian atau frekuensi pemakaian (Morrison, 1996), yaitu bahwa pasar juga dapat dikelompokkan menjadi pemakai produk yang ringan, sedang, dan berat. Variabel tingkat pemakaian sebaiknya dipilih sebagai bagian dari pendekatan two-stage atau multi-stage segmentation (Morrison, 1996). Misalnya, segmentasi kombinasi dari variabel tingkat pemakaian, tujuan perjalanan, dan variabel geografis.
• Status kesetiaan, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi menurut pola kesetiaan konsumen. Konsumen dapat dibagi menjadi: (1) konsumen yang sangat setia, yaitu konsumen yang membeli satu merk sepanjang waktu; (2) konsumen yang kesetiaannya terbagi pada dua atau tiga merk; (3) konsumen yang kesetiaannya berpindah dari suatu merk ke merk yang lain; dan (4) konsumen yang tidak mempunyai kesetiaan pada satu merk tertentu.
• Tahap kesiapan pembeli, yaitu bahwa pasar terdiri dari orang-orang dengan tahap kesiapan yang berbeda-beda untuk membeli suatu produk. Berdasarkan kesiapannya, pembeli dapat dibagi menjadi: (1) yang tidak menyadari keberadaan suatu produk, (2) yang menyadarinya, (3) yang memiliki informasi tentang produk tersebut, (4) yang menginginkan produk itu, dan (5) yang bermaksud membelinya.
• Sikap, yaitu bahwa pasar dapat disegmentasi berdasarkan sikap konsumen terhadap produk. Kelompok sikap yang dapat ditemukan dalam suatu pasar adalah antusias, positif, tak acuh, negatif, dan benci.

VARIABEL TUJUAN PERJALANAN (PURPOSE OF TRIP)
Pasar dalam bidang pariwisata dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan utama pelanggan dalam melakukan perjalanan. Tujuan perjalanan dianggap sebagai faktor yang berpengaruh besar terhadap perilaku pelanggan. Berdasarkan tujuan perjalanannya, pasar dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu pasar perjalanan bisnis (business travel market) dan pasar perjalanan personal dan untuk bersenang-senang (pleasure and personal travel market). Kedua jenis pasar ini mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda. Misalnya, orang yang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang lebih sensitif terhadap harga bila dibandingkan dengan orang bisnis.

Karena variabel tujuan perjalanan ini merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi perilaku pelanggan, segmentasi pasar dalam pemasaran pariwisata sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan two-stage atau multistage segmentation, dimana tujuan perjalanan menjadi dasar utama segmentasi (Morrison, 1996).

VARIABEL PRODUK TERKAIT (PRODUCT-RELATED)
Segmentasi pasar yang menggu¬nakan variabel produk terkait pada intinya adalah mengelompokkan pelanggan berdasarkan kebutuhan dan keinginannya yang berkaitan dengan jenis pelayanan tertentu yang diberikan organisasi. Misalnya restoran fast-food dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan makanan yang murah, berkualitas, standard, dan disajikan dengan cepat. Karena itu, pasar dapat dibagi berdasarkan produk yang diberikan organisasi, seperti pasar perjalanan wisata insentif, pasar kapal pesiar, pasar judi casino, dan lain sebagainya.

Segmentasi produk terkait harus digunakan sebagai bagian dari two-stage atau multistage segmentation. Segmentasi ini juga bermanfaat apabila pengguna pelayanan tertentu mempunyai karakteristik yang berbeda dengan yang bukan pengguna, atau dapat dijangkau secara langsung dengan bentuk promosi tertentu (Morrison, 1996).

VARIABEL SALURAN DISTRIBUSI (CHANNELS OF DISTRIBUTION)
Bila segmentasi pasar yang menggunakan variabel-variabel yang telah dibicarakan di atas membagi pelanggan, maka segmentasi yang menggunakan variabel saluran distribusi bukan membagi pelanggan secara langsung tetapi membagi perantara perjalanan wisata (travel intermediaries) atau perdagangan perjalanan wisata (travel trade). Yang menjadi konsep dasar segmentasi saluran distribusi ini ialah bahwa pemasaran pariwisata mempunyai pilihan: (1) pemasaran langsung kepada pelanggan, (2) pemasaran melalui organisasi perantara/intermediary orga¬n-izations (misalnya, agen perjalanan wisata), atau kombinasi dari (1) dan (2). Pemasaran langsung kepada pelanggan dan pemasaran melalui organisasi perantara memerlukan pendekatan yang berbeda (Morrison, 1996).

Jadi, segmentasi saluran distribusi berarti membagi perantara perjalanan wisata atau perdagangan perjalanan wisata berdasarkan fungsi dan ciri-ciri umumnya. Sebagaimana pelanggan, perantara perjalanan wisata pun bermacam-macam. Mereka dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya menjadi: (1) pengecer jasa perjalanan wisata (agen perjalanan wisata), (2) perancang perjalanan insentif yang dipersiapkan menurut pesanan (incentive travel planners), dan (3) pengembang atau koordinator tour dan paket-paket liburan (tour wholesalers dan operators). (Morrison, 1996).

KRITERIA SEGMENTASI PASAR YANG EFEKTIF
Segmentasi pasar terdiri dari dua tahap kegiatan yang saling berkaitan. Pertama, membagi keseluruhan pasar ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan karakteristiknya (segmen pasar) dengan menggunakan dasar segmentasi tertentu, misalnya berdasarkan geografis, demografis, atau psikografis seperti telah dibahas di atas. Kedua, menyeleksi di antara segmen-segmen pasar tersebut, segmen-segmen pasar yang dapat dilayani organisasi/perusahaan dengan baik (pasar sasaran), menggunakan seperangkat kriteria segmentasi pasar (Morrison, 1996).

Kotler, Bowen, Makens (1998) dan Zeithaml & Bitner (1996) mengemukakan agar pasar sasaran yang dipilih dapat efektif, maka ia harus memenuhi kriteria: measurability, accessibility, substantiality, dan actionability. Lumsdon (1997) menambahkan dua kriteria lagi selain empat kriteria tersebut, yaitu identifiable dan cohesive. Sedangkan Morrison (1996) menambahkan lima kriteria, yaitu defensible, durable, competitive, homogeneous, dan compatible. Berikut ini penjelasan dari kriteria tersebut :

• Measurable, yaitu bahwa ukuran, daya beli, dan profil segmen pasar yang dipilih harus dapat diukur.
• Accessible, yaitu bahwa segmen pasar tersebut harus dapat dijangkau dan dilayani secara efektif oleh organisasi.
• Substantial, yaitu bahwa segmen pasar yang dipilih harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani.
• Actionable, yaitu bahwa dengan dipilihnya segmen-segmen pasar tersebut harus memungkinkan untuk diambil tindakan oleh organisasi, seperti program-program efektif yang dirumuskan untuk menarik dan melayani segmen-segmen tersebut.
• Identifiable, yaitu bahwa segmen pasar yang terpilih harus terdiri dari orang-orang yang dapat diidentifikasi mencari keuntungan-keuntungan yang sama dari suatu penawaran jasa pariwisata.
• Cohesive, yaitu bahwa suatu segmen harus secara jelas dapat diidentifikasi dan dipisahkan dari segmen lainnya untuk tujuan pengukuran, misalnya ia harus mempunyai ciri-ciri tersendiri. Pemasar harus dapat mengidentifikasi sekelompok orang yang berperan sebagai pemersatu.
• Defensible, yaitu bahwa pasar sasaran yang dipilih harus dapat dipertahankan dari para pesaing. Untuk itu pemasar harus yakin bahwa perhatian yang diberikan organisasi kepada pasar-pasar sasaran benar-benar dilakukan secara individual, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
• Durable, yaitu bahwa segmen pasar yang dipilih harus yang bertahan lama. Beberapa segmen pasar berlangsung pendek, tidak lebih dari lima tahun. Meskipun ada beberapa yang sangat menguntungkan dengan cepat mengembalikan modal investasi, namun kebanyakan tidak menguntungkan. Para pemasar yang bijak harus yakin dulu bahwa masing-masing pasar sasaran yang dipilihnya berpotensi berlangsung lama.
• Competitive, yaitu daya saing dari jasa yang diberikan organisasi berkenaan dengan segmen pasar. Jadi pemasar harus melihat bahwa apa yang ditawarkan organisasi itu benar-benar sesuatu yang berbeda dan unik bagi pelanggan tersebut. Semakin tepat jasa yang diberikan memenuhi kebutuhan segmen tertentu, semakin terbuka kemungkinan berhasilnya.
• Homogeneous, yaitu bahwa pasar yang sudah terbagi ke dalam segmen-segmen tertentu harus betul-betul berbeda antara satu dengan yang lainnya (heterogen). Sebaliknya, orang-orang atau pelanggan yang ada dalam satu segmen perlu diupayakan se-homogen mungkin.
• Compatible, Yaitu bahwa pasar sasaran yang dipilih tidak boleh bertentangan dengan pasar yang sudah terlayani. Artinya, pasar sasaran yang baru tersebut harus compatible atau cocok dengan customer mix (kombinasi pasar sasaran yang dilayani organisasi) yang sudah ada.

PENUTUP
Penetapan variabel-variabel apa saja yang dijadikan dasar segmentasi merupakan langkah awal yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya pemasaran yang akan dilakukan. Di pihak lain, menentukan variabel mana yang akan dijadikan dasar terbaik dalam melakukan segmentasi pasar bukanlah hal yang mudah. Agar para pemasar memiliki bahan perbandingan dalam memilih variabel dasar segmentasinya, maka mereka perlu mengenali dan mencermati variabel-variabel yang telah dan sering digunakan para pakar/peneliti pemasaran.

Dalam pemasaran pariwisata dikenal tujuh macam variabel yang dapat dijadikan dasar segmentasi pasar, yaitu variabel geografis, demografis, psikografis, perilaku, tujuan perjalanan, produk terkait, dan saluran distribusi. Para pakar pemasaran menyarankan untuk menggunakan pendekatan multistage segmentation atau menggunakan kombinasi dari variabel-variabel tersebut agar segmentasi yang dilakukan lebih efektif.


DAFTAR PUSTAKA
Frochot, Isabelle & Alastair M. Morrison. 2000. “Benefit Segmentation: A Review of Its Applications to Travel and Tourism Research.” Journal of Travel & Tourism Marketing, Vol. 9, No. 4, 21-45

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, edisi revisi. Prenhallindo, Jakarta

___________; John Bowen; James Makens. 1998. Marketing for Hospitality and Tourism, 2nd ed. Prentice Hall, New York

Lumsdon, Les. 1997. Tourism Marketing. International Thomson Business Press, London

Malhotra, R.K. 1997. Encyclopaedia of Hotel Management and Tourism, Vol.3: Tourism Marketing. Anmol Publications, New Delhi.

Morrison, Alastair M. 1996. Hospitality and Travel Marketing, 2nd ed. Delmar Publishers, Albany

Sung, Heidi Y.; Alastair M. Morrison. 2000. “Segmenting the Adventure Travel Market by Activities: From the North American Industry Providers’ Perspective.” Journal of Travel & Tourism Marketing, Vol. 9, No. 4, 1-20

Teare, Richard, et al. 1994. Marketing in Hospitality and Tourism: a Consumer Focus. Cassell, London

Witt, Stephen F. and Luiz Moutinho (eds). 1994. Tourism Marketing and Management Handbook, 2nd ed. Prentice Hall, New York.

Zeithaml, Valarie A. & Mary Jo Bitner. 1996. Services Marketing. McGraw-Hill, New York

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol.07, No.1, Maret 2002)

Tourism Planning


FAKTOR KEAMANAN DALAM PERENCANAAN PARIWISATA


OLEH:
RAHMAT INGKADIJAYA


PENDAHULUAN
Kunjungan wisatawan mancane¬gara ke Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 dipastikan akan mengalami penu¬runan. Hal ini disebabkan kejadian-kejadian beruntun yang menimpa negeri kita sempat menciptakan citra Indonesia di mata dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk dikunjungi. Pemerintah Jepang misal¬nya, telah mengeluarkan larangan terhadap warga negaranya untuk mengunjungi Indonesia kecuali Bali. Citra tidak aman tersebut kemudian diperteguh dengan banyaknya warga negara asing, baik swasta maupun anggota kedutaan dan keluarganya, dan warga keturunan Cina yang meninggalkan negeri ini menjelang pelaksanaan kampanye dan pemilu 1999 (Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999).

Kenyataan tersebut tentu saja memprihatinkan. Kita tahu dari data statistik bahwa hingga tahun 1996 sektor pariwisata terus menunjukkan sumbangan yang berarti dalam perolehan devisa negara (lihat Tabel-1), sehingga banyak kalangan, baik pemerintah maupun para pakar, memperkirakan pada tahun 2003 pariwisata akan menyumbang devisa terbesar dari sektor non-migas, dan pada tahun 2005 akan menjadi penghasil devisa utama menggantikan posisi migas. Tetapi apa mau dikata, harapan ini menjadi pupus setelah terjadinya kebakaran hutan dan wabah demam berdarah di beberapa tempat di negeri ini pada tahun 1997, dan disusul kemudian dengan berbagai huru-hara dan kerusuhan sebagai akibat instabilitas politik (political instability). Indonesia menjadi negara yang dianggap tidak aman untuk dikunjungi. Biro-biro perjalanan, hotel-hotel, tempat-tempat tujuan wisata menjadi sepi. Karena tidak adanya pemasukan, banyak di antara mereka yang kondisinya “sekarat”. Kondisi ini diperparah lagi dengan berlang¬sungnya krisis ekonomi yang berke¬panjangan yang tidak hanya ber¬dampak buruk terhadap sektor pariwisata, melainkan juga terhadap hampir semua sektor riil lainnya.

Namun, apapun yang terjadi janganlah membuat kita putus asa. Setiap musibah pasti ada hikmahnya dan kita mesti pandai-pandai mengambil pelajaran dari hikmah tersebut. Adapun hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari musibah yang menimpa dunia pari¬wisata adalah bahwa faktor keamanan ternyata begitu penting dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat. Sedemikian pentingnya se-hingga betapapun suatu tempat mempunyai keindahan alam yang tiada tara dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, itu semua belumlah cukup sebagai “magnet” untuk mena¬rik wisatawan berkunjung ke tempat itu bila mereka menganggap tempat tersebut tidak aman.

Mengingat peranannya yang begitu penting sebagai daya tarik pari¬wisata, maka faktor keamanan perlu diberi porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang. Apalagi bila kita hendak menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam perolehan devisa negara.

PERENCANAAN PARIWISATA
Pariwisata dapat memberikan manfa’at dan juga mudlarat. Manfa’at pariwisata dalam bidang ekonomi misalnya, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan income per-capita, meningkatkan devisa, dlsb. (lihat Tabel-2). Sedangkan mudlarat-nya, bisa menimbulkan kerusakan lingkungan alami, lingkungan terbangun, dan lingkungan budaya (lihat Tabel-3, Tabel-4, dan Tabel-5). Perencanaan pengembangan pariwisata dimaksudkan agar aktivitas pariwisata dapat menghasilkan keuntungan atau manfa’at sebesar-besarnya, dan menghilangkan atau menekan mudlarat/dampak negatifnya seminimal mungkin.

Tujuan tersebut tampak sederhana, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah karena pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sangat kom¬pleks yang mempunyai karak¬teristik sebagai berikut:

a) Multi-dimensional. Pariwisata ber¬dimensi banyak, mencakup dimensi fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
b) Multi-sektoral. Pariwisata ber¬kaitan erat dengan sektor-sektor lainnya, seperti pertanian, per-ikanan, manufaktur, transportasi, berbagai pelayanan dan fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya.
c) Multi-produk. Produk yang dita¬warkan pariwisata itu bermacam-macam sesuai dengan demand wisatawan, di antaranya ialah wisata alam, wisata agro, wisata lingkungan, wisata budaya, wisata bahari, wisata air, wisata ziarah, konvensi, dlsb.
d) Multilevel. Pariwisata juga meli¬batkan banyak tingkatan, mulai dari tingkat komunitas lokal, provinsial, nasional, sampai tingkat global.

Melihat begitu kompleksnya akti¬vitas pariwisata, maka pengembangan pariwisata perlu direncanakan secara komprehensif, holistik, dan integratif. Inskeep (1991) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pari-wisata karenanya harus menggunakan suatu pendekatan yang mencakup unsur-unsur berikut ini:

a) Pendekatan yang berkesinam¬bungan, incremental, dan fleksibel (Continuous, incremental, and flexible approach). Perencanaan pariwisata dipandang sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan dimungkinkan melakukan penyesuaian-penye¬su¬aian yang diperlukan berdasarkan hasil monitoring dan umpan balik (feedback), tetapi dalam kerangka pemeliharaan tujuan dasar dan kebijakan pengembangan pari¬wisata.
b) Pendekatan sistem (Systems approach). Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling terkait dan harus direncanakan menggunakan teknik analisis sistem.
c) Pendekatan komprehensif (Com¬prehensive approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem, seluruh aspek pengembangan pariwisata, termasuk unsur-unsur institusional, implikasi sosio-ekonomi dan lingkungan dianalisis dan direncanakan secara kompre¬hensif. Karena itu pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan holistik.
d) Pendekatan yang terintegrasi (Integrated approach). Berkaitan dengan pendekatan sistem dan komprehensif, pariwisata direnca¬nakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem terintegrasi, baik antar unsur-unsur di dalam sistem itu sendiri maupun dengan ren¬cana dan pola-pola pemba¬ngunan secara keseluruhan.
e) Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Environmental and sustainable development approach). Pariwisata direncanakan, dikem-bangkan, dan dikelola sedemikian rupa sehingga sumberdaya alam dan budaya tidak habis atau menurun, tetapi terpelihara sebagai sumberdaya yang hidup terus menjadi dasar permanen untuk penggunaan terus-menerus di masa depan. Analisis daya angkut/muat (carrying capacity analysis) merupakan suatu teknik yang penting digunakan dalam pendekatan pembangunan berke-lanjutan dan berwawasan lingkungan ini.
f) Pendekatan komunitas (Community approach). Terdapat keter¬kaitan maksimum komunitas lokal dalam perencanaan dan pengam¬bilan keputusan kepariwisataan dan, lebih jauh lagi, terdapat partisipasi maksimum komunitas dalam pengembangan dan mana-jemen pariwisata, serta keun¬tungan-keuntungan sosio-ekono¬minya.
g) Pendekatan implementable (Imple¬mentable approach). Kebijakan, rencana, dan rekomendasi pe¬ngembangan pariwisata diformula¬sikan menjadi realistik dan dapat diimplementasikan. Formulasi kebijakan dan rencana itu meng¬gunakan teknik-teknik implemen¬tasi, yang mencakup strategi atau program aksi dan pengembangan.
h) Aplikasi proses perencanaan sistematik. Proses perencanaan sistematik diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan pada urutan logik aktivitas-aktivitas. (Inskeep, 1991:29)
Pendekatan tersebut di atas diaplikasikan secara konseptual pada semua tingkat dan jenis perencanaan pariwisata. Tetapi bentuk spesifik aplikasinya, tentu saja, bervariasi tergantung pada jenis perencanaan yang diambil.

Perencanaan pariwisata dipersiap¬kan pada berbagai tingkatan. Setiap tingkatan memfokuskan diri pada derajat kekhususan yang berbeda. Perencanaan tersebut hendaknya dipersiapkan dalam urutan dari yang umum ke yang spesifik, sebab tingkatan yang umum memberikan kerangka dan arahan untuk mempersiapkan rencana-rencana spesifik. Urutan tingkatan itu dimulai dari tingkat perencanaan internasional, perencanaan nasional, perencanaan regional/provinsial, perencanaan sub-regional/provinsial, perencanaan daerah wisata, perencanaan fasilitas pariwisata, dan design fasilitas pariwisata.

DAYA TARIK WISATA
Perencanaan pengembangan pari¬wisata tersebut di atas mencakup komponen-komponen sebagai berikut:

a) Daya tarik wisata. Yaitu semua sumber daya alam dan budaya, keistimewaan-keistimewaan dan aktivitas-aktivitas yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
b) Akomodasi. Hotel dan jenis ako¬modasi lainnya tempat wisatawan menginap selama melakukan perjalanannya, beserta pelayanan-pelayanan yang diberikan.
c) Fasilitas dan pelayanan pari¬wisata lainnya. Fasilitas dan pelayanan pariwisata lainnya yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata di antaranya ialah biro dan agen perjalanan (disebut juga receptive services), restoran dan jenis tempat makan lainnya, toko barang kerajinan, souvenir, bank, tempat penukaran uang, dan fasilitas dan pelayanan keuangan lainnya, kantor informasi wisata, pelayanan pribadi seperti pe¬mangkas rambut dan salon kecantikan, fasilitas pelayanan medis, fasilitas pelayanan polisi dan pemadam kebakaran, dan fasilitas kepabeaan dan imigrasi.
d) Transportasi. Transportasi ke negara yang bersangkutan, trans¬portasi antar provinsi dan antar kota, transportasi ke dan dari daerah tujuan wisata. Mencakup semua jenis transportasi, yaitu transportasi darat, laut, dan udara.
e) Infrastruktur lainnya. Di samping transportasi, infrastruktur lainnya yang diperlukan antara lain air, listrik, telepon, drainage, dlsb.
f) Unsur-unsur institusional. Unsur-unsur institusional yang diper¬lukan dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata mencakup perencanaan sumber daya manu¬sia beserta program-prog¬ram pelatihan dan pendidikannya, strategi pemasaran dan program promosi, struktur organisasi kepariwisataan baik pemerintah maupun swasta, peraturan perundang-undangan kepariwisataan, kebijakan-kebi¬jakan investasi, program-program pengawasan mengenai dampak ekonomi, sosio-budaya, dan lingkungan. (Inskeep, 1991: 38-39)

Yang paling penting dari keenam komponen tersebut adalah komponen daya tarik wisata. Komponen inilah yang menyebabkan seorang wisatawan mengunjungi suatu tempat/daerah tujuan wisata. Wisatawan datang ke Yogya misalnya, bukan untuk me-nginap di hotel berbintang, tetapi untuk melihat kraton, borobudur, sekatenan, melihat kehidupan masya¬rakat setempat beserta adat-istiadatnya, dan sebagainya. Sedang¬kan komponen-komponen lainnya merupakan penunjang dari komponen daya tarik. Misalnya, biro perjalanan merupakan sarana yang memudahkan wisatawan dalam melakukan per¬jalanan wisata, dan hotel atau akomodasi lainnya membuat wisa¬tawan dapat menikmati daya tarik wisata lebih lama.

Daya tarik wisata biasanya dike¬lompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:

a) Daya tarik wisata alam (Natural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya alam, seperti iklim, pemandangan alam, laut dan pantai, flora dan fauna, cagar alam, dll.
b) Daya tarik wisata budaya (Cultural attractions) ialah daya tarik wisata dari sumber daya budaya, seperti situs dan peninggalan-peninggalan sejarah budaya, adat istiadat, seni dan kerajinan tangan, museum, festival budaya, dll.
c) Daya tarik wisata khusus (Special types of attractions) ialah daya tarik wisata yang tidak termasuk ke dalam dua kategori di atas yang sengaja dibuat atau diciptakan, seperti taman-taman hiburan dan sirkus, pusat perbelanjaan, fasilitas pertemu-an/konferensi/konvensi, peristiwa khusus (Olympiade, ASIAN Games, Sea Games, PON, dll), kasino dan tempat hiburan (nightclub dan disco), fasilitas rekreasi dan olah raga, dll.

Ketiga kategori daya tarik wisata tersebut memberikan peluang bagi suatu daerah atau negara untuk mengembangkan pariwisatanya. Dan agar daya tarik wisata ini memberikan keuntungan sebesar-besarnya, maka pengembangannya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.

FAKTOR KEAMANAN
Selain ketiga daya tarik wisata tersebut di atas masih ada daya tarik wisata lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu keamanan atau rasa aman. Meskipun suatu daerah/negara mempunyai keindahan alam yang sangat menawan dan keanekaragaman budaya yang sangat unik, wisatawan tidak akan berani berkunjung ke daerah/negara itu bila mereka menganggap daerah/negara tersebut tidak aman bagi dirinya.

Menurut Richter (1992) pengaruh keamanan terhadap pariwisata sebe¬tulnya sangat jelas, tetapi banyak negara-negara berkembang tidak memasukkannya dalam perencanaan pengembangan pariwisata mereka sebelum masalah-masalah yang ditimbulkan oleh faktor ketidak¬amanan terjadi. (Richter, 1992:39) Kasus yang diungkapkan oleh Richter tersebut rupanya teralami juga oleh Indonesia. Untuk itu di masa-masa mendatang faktor keamanan ini perlu mendapat porsi yang sewajarnya dalam perencanaan pariwisata nasional maupun daerah.

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau menimbulkan ketidakamanan (insecurity), antara lain adalah:

a) Wabah penyakit, misalnya demam berdarah, malaria, muntaber, dsb.
b) Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, lahar gunung berapi, dsb.
c) Kecerobohan manusia yang me¬nimbulkan bencana dan kece¬lakaan, misalnya bencana keba¬karan hutan.
d) Kriminalitas, seperti perampokan, perkosaan, penodongan, dsb.
e) Kesenjangan sosial-ekonomi masya¬rakat sekitar daerah tujuan wisata yang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap pengusaha pariwisata dan wisatawan, yang diungkapkan melalui perbuatan-perbuatan kri-minal (penjarahan, pencurian, pengrusakan, dsb.).
f) Pelanggaran norma-norma atau nilai-nilai budaya setempat oleh para wisatawan, yang menim-bulkan konflik antara wisatawan dengan penduduk setempat.
g) Instabilitas politik (political instability) yang menimbulkan huru-hara, kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, dsb.

Lebih jauh lagi untuk faktor instabilitas politik, Richter (1992) membaginya menjadi empat macam, yaitu:

a) Instabilitas di negara kawasan/¬tetangga dapat mempengaruhi negara lainnya karena menggang-gu lalu lintas udara, laut, dan darat; atau karena publisitas mengenai instabilitas tersebut mempengaruhi seluruh kawasan.
b) Pergolakan internal di suatu negara yang walaupun mungkin daerah rawannya jauh dari daerah tujuan wisata namun pemberitaan media massa dapat menciptakan citra tidak aman negara tersebut secara keseluruhan, sehingga negara lain melarang warganya untuk mengadakan perjalanan ke negara itu.
c) Aksi-aksi dari kelompok anti-pemerintah yang mengganggu para wisatawan. Apakah untuk mepermalukan pemerintah yang bersangkutan, atau untuk mele¬mahkan perekonomiannya, atau sekedar untuk mencari perhatian dunia internasional terhadap permasalahan politik yang terjadi di negara tersebut.
d) Instabilitas politik yang dise¬babkan kebijakan-kebijakan pe¬ngembangan pariwisata itu sendiri yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat, seperti yang terjadi di Philipina pada jaman rezim Marcos berkuasa. Sa’at itu Keluarga Marcos dan kroninya membangun hotel mewah dengan menggunakan dana pinjaman yang sebenarnya diperuntukkan untuk Jaring Pengaman Sosial. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan rakyat.(Richter, 1992: 33-46).

Semua faktor yang dapat menyebabkan ketidakamanan tersebut di atas harus ditangani secara komprehensif dalam perencanaan pariwisata. Untuk itu perlu adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga/instansi-instansi lainnya. Untuk masalah wabah penyakit misalnya, perlu kerjasama dengan Departemen Kesehatan, dan untuk masalah kriminalitas perlu kerjasama dengan pihak kepolisian. Perlu juga adanya pengamanan jalur-jalur wisata dari serangan orang-orang yang ingin mengganggu wisatawan.

Di samping itu, pihak pengusaha pariwisata pun harus peka terhadap keadaan sosial-budaya dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan wisata, agar konflik antara masyarakat dengan pihak pengusaha pariwisata dan wisatawan dapat dihindarkan.

PENUTUP
Di dalam milenium ketiga nanti, sektor pariwisata diharapkan akan menjadi sektor andalan sebagai penyumbang terbesar devisa negara. Karena itu, dengan menimba pengalaman dari kejadian-kejadian belakangan ini yang sangat tidak menguntungkan bagi berkembangnya sektor ini, kita perlu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan pariwisata di masa-masa mendatang.

Perhatian terhadap faktor keamanan ini akan semakin penting lagi bilamana ternyata sektor pariwisata benar-benar menjadi sektor andalan peraih devisa. Karena dengan begitu sektor pariwisata akan menjadi penentu keberhasilan perekonomian kita. Sementara itu kita tahu sektor ini sangat rawan terhadap isu ketidakamanan.


DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. Statistik kunjungan tamu asing 1996. Jakarta, 1997.

Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Direktorat Jenderal Pariwisata. Analisis pasar wisatawan mancanegara 1997. Jakarta, 1997

Gunn, Clare A. Tourism planning, 2nd edition. New York: Taylor & Francis, 1988

Hartanto, Frans Mardi. “Menjelang pembangunan pariwisata yang berkelanjutan: perspektif perencanaan kebijaksanaan” dalam Prosiding pelatihan dan lokakarya perencanaan pariwisata berkelanjutan, editor Myra P. Gunawan. Bandung: Penerbit ITB, 1997

Inskeep, Edward. Tourism planning: an integrated and sustainable development approach. New York: Van Nostrand Reinhold, 1991

“Mencari rasa aman”. Tempo, Edisi 11-17 Mei 1999: hal. 15

Richter, Linda K. “Political instability and tourism in the Third World” in Tourism & the less developed countries, edited by David Harrison. London: Belhaven Press, 1992

Rudini. “Jaring pengaman sosial untuk pemulihan ekonomi” dalam Sinergi, EdisiXXI/1998: hal. 23-26.

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata, Vol.04, No.1, Agustus 1999)